Kalau dihitung dari periode sebelum pandemi, katakan di tahun 2018 dimana terjadi kenaikan tarif cukai sebesar 10%, dan tidak ada kenaikan tarif di tahun 2019, maka dari 2018 ke 2021 penurunan produksinya diperkirakan mencapai 3,97%.
“Dengan adanya simplifikasi, penerimaan negara bisa saja bertambah, namun sedang kami hitung impact-nya akan seperti apa. Karena bagaimanapun, kami tetap mempertimbangkan 4 aspek, diantaranya masalah penerimaan negara, tenaga kerja, rokok ilegal dan pengendalian konsumsi. Ini menjadi perhatian dan petimbangan kami jika ada Simplifikasi,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa dengan simplifikasi, pemasukan negara akan bertambah, tapi harus dikaji kembali, apakah pemasukan negara tersebut cukup signifikan dibanding dengan penurunan produksi IHT.
Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo, dalam sebuah Konferensi Pers, Survei Rokok Ilegal di Indonesia, Minggu, 24 Oktober 2021, mengecam rencana simplifikasi tersebut.
Ia menjabarkan beberapa dampak Simplifikasi, diantaranya Simplifikasi berpotensi menciptakan persaingan tidak sehat. Penggabungan layer sigaret putih mesin (SPM) dengan sigaret kretek mesin (SKM) pada golongan 2 diperkirakan akan menyebabkan penurunan volume rokok sebesar 2,12%.
“Dampak lainnya, Simplifikasi juga berpotensi memunculkan oligopoli bahkan monopoli untuk segmen SPM. Penyederhanaan layer dan penggabungan golongan juga hanya akan menguntungkan pabrikan atau produsen besar,” tegasnya.
Terkait potensi munculnya oligopoli dan monopoli pada segment SPM, ia menambahkan, kita harus waspada, karena ada kaum kapitalis global yang sudah merana di Indonesia dan ingin mematikan IHT nasional.
Mereka telah masuk hingga ke tingkat daerah dan menggunakan LSM di bawah asing, yang mendorong untuk membuat peraturan yang bertentangan dengan putusan MA, termasuk larangan display rokok.
Perihal Simplifikasi Tarif Cukai Hasil Tembakau juga mendapat sorotan dan kritikan tajam dari Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) provinsi Nusa Tenggara Barat, Sahminudin. Ia menilai bahwa selama ini kita telah dibohongi dan dibodohi dengan kata simplifikasi yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya adalah penyederhanaan.
“Kenyataannya, di tahun 2007 dari 30 layer dibuat menjadi 10 layer di tahun 2018. Ini namanya amputasi, bukan simplifikasi. Buktinya, pabrik rokok yang tadinya berjumlah hampir 5.000, kini tinggal 456 pabrik. Jelas ini berdampak besar pada penyerapan tembakau dan nasib para petani. Kalau diteruskan, tidak menutup kemungkinan nanti akan dibuat 1 golongan, CHT tunggal. Ini sudah pasti akan bobol dan memberatkan,” jelasnya.
“Rokok laris tidak laris, nanti harus bayar CHT yang sama besarnya. Secara otomatis itu mematikan,” tambahnya.
Ia mengkhawatirkan nasib para petani dan pekerja IHT yang akan segera mati dan gulung tikar jika simplifikasi diberlakukan. Bahkan, menurutnya, bukan hanya mematikan pertembakauan, tetapi juga sama saja dengan negara bunuh diri.
“Sebab tidak mudah mengganti penerimaan negara sebesar 11% dari Cukai Hasil Tembakau. Mau dikemanakan 2,5 juta orang petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, dan jutaan pekerja dari hulu hingga hilir? Jumlah itu setara dengan 25% angkatan kerja nasional,” tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat