Risiko reinvestasi adalah risiko yang terjadi sebagai akibat dari fluktuasi harga dan suku bunga pasar yang berlawanan. Sehingga investor tidak akan dapat menginvestasikan kembali arus kas yang diterima dari investasi, seperti pembayaran kupon atau bunga, pada tingkat yang sebanding dengan tingkat pengembalian mereka saat ini.
Risiko reinvestasi adalah kemungkinan bahwa arus kas investasi akan menghasilkan lebih sedikit dalam keamanan baru. Ini menjadi potensi bahwa investor tidak akan dapat menginvestasikan kembali arus kas pada tingkat yang sebanding dengan tingkat pengembalian mereka saat ini.
Sebagai contoh, seorang investor membeli Treasury note (T-note) 10 tahun Rp100 juta dengan tingkat bunga 6%. Investor mengharapkan untuk mendapatkan Rp6 juta per tahun dari sekuritas. Namun, pada akhir tahun pertama, suku bunga turun menjadi 4%.
Baca Juga: Apa Itu Risiko Politik?
Jika investor membeli obligasi lain dengan Rp6 juta yang diterima, mereka hanya akan menerima Rp240 ribu per tahun daripada Rp360 ribu. Selain itu, jika suku bunga kemudian meningkat dan mereka menjual wesel sebelum tanggal jatuh tempo, mereka akan kehilangan sebagian dari pokok.
Investor dapat mengurangi risiko reinvestasi dengan berinvestasi pada sekuritas yang tidak dapat ditarik kembali. Juga, obligasi-Z dapat dibeli karena mereka tidak melakukan pembayaran bunga secara teratur. Berinvestasi dalam sekuritas jangka panjang juga dapat menjadi pilihan, karena uang tunai lebih jarang tersedia dan tidak perlu sering diinvestasikan kembali.
Cara mudahnya adalah memiliki manajer dana dapat membantu mengurangi risiko reinvestasi. Oleh karena itu, beberapa investor mempertimbangkan untuk mengalokasikan uang ke dalam dana obligasi yang dikelola secara aktif. Namun, karena imbal hasil obligasi berfluktuasi dengan pasar, risiko reinvestasi masih ada.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajria Anindya Utami
Editor: Fajria Anindya Utami
Tag Terkait: