“Seharusnya ini sudah menjadi alasan yang kuat bagi hakim untuk memutuskan bahwa presidential threshold tidak relevan lagi,” ujarnya.
Selain itu, Gatot turut mengutip pendapat ekonom senior Rizal Ramli yang menyatakan, ketentuan PT telah memunculkan fenomena pembelian kandidasi (candidacy buying). Dia mengkisahkan kandidasi yang pernah dialami RR, sapaan Rizal Ramli, pada 2009 silam. Rizal Ramli pernah ditawari oleh salah satu parpol untuk berkontestasi, tapi harus membayar sebesar Rp 1 triliun.
Baca Juga: Said Aqil Senggol 212, Langsung Dibalas Novel Bamkumin dengan Telak! Diminta Jangan...
Dia lantas menyebut, seharusnya persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden digolongkan sebagai close legal policy.
Pasalnya, UUD 1945 telah menentukan pembatasan atau syarat pencalonan. Sementara, berdasarkan preseden putusan hakim, ketentuan disebut sebagai open legal policy apabila memenuhi syarat; (1) norma tersebut tidak dirumuskan secara tegas (expressis verbis) dalam UUD 1945; atau (2) norma tersebut didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam UU.
"Ketentuan presidential threshold tidak memenuhi kedua syarat tersebut, sebab Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah terang mengatur persyaratan pengusulan calon presiden dan wakil presiden,” tutur mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu.
Sementara itu, Refly menilai, PT cuma menjadi tiket oligarki untuk memenangkan kontestasi secara mudah dan murah. Itu, sudah lama dia sadari. Karenanya, sebanyak 13 kali Refly mengajukan uji materi mengenai PT ke MK. Namun sayangnya tidak pernah dikabulkan.
Dia menduga gugatannya selalu ditolak bukan karena minim argumentasi konstitusional. Tapi cengkraman dan kekuatan oligarki terlalu kuat.
Baca Juga: Munarman Menangis di Pengadilan, Orang PSI Kasih Komentar Pedas: Kalau Sudah Diadili Nangis
“Sampai ke relung kekuasaan yudikatif, saya bicara apa adanya, karena bagi oligarki presidential threshold itu adalah tiket untuk memenangkan kontestasi secara mudah dan murah,” ucap Refly.
Gatot bukan orang pertama yang menggugat PT. Dalam waktu sepekan, aturan pencapresan ini telah empat kali digugat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Adrial Akbar
Tag Terkait: