Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Wajah Pers Indonesia di Era Disrupsi Digital

Wajah Pers Indonesia di Era Disrupsi Digital Kredit Foto: MNC
Warta Ekonomi, Jakarta -

Digitalisasi juga turut memengaruhi perkembangan dunia pers. Revolusi digital pada satu dekade terakhir disebut telah mengubah arus industri media di Indonesia secara signifikan.

Eks CEO PT Tempo Inti Media Tbk Bambang Harymurti menilai disrupsi digital kian mengikis independensi dan keandalan pers Indonesia, terutama dalam menjaga kesehatan iklim demokrasi.

Baca Juga: Launching Hari Pers Nasional (HPN) 2022, Ini Sederet Peraih Anugerah Jurnalistik Adinegoro

Ia mengutip tulisan Ross Tapsell dalam artikel berjudul "The Media and Democratic Decline"  dalam buku Democracy in Indonesia: from Stagnation to Stagnation? yang menyimpulkan bahwa revolusi digital di Indonesia telah membuat keragaman pers berkurang dan menjadikannya makin bergantung pada oligarki.

"Budaya kemerdekaan berekspresi dan menyuarakan kritik secara bebas pun mengalami erosi dan menimbulkan pertanyaan, apakah para pegiat pers dapat bangkit untuk merebut kembali kemerdekaan dan independensi pers dari jerat kepentingan oligarki yang memiliki sumber daya amat kuat itu," katanya dalam diskusi virtual bertajuk Wajah Pers Indonesia Tahun 2022, Senin (31/1/2022).

Menurutnya, kehadiran teknologi justru membuat kondisi kemerdekaan pers dan iklim demokrasi Indonesia belakangan bertolak belakang dengan kondisi saat awal teknologi ini memasuki Nusantara. "Saat itu, internet malah menjadi alat utama para pegiat demokrasi dalam menyampaikan informasi secara cepat dan murah ke seluruh penduduk bumi untuk melawan propaganda pemerintah-pemerintahan otoriter di dunia," tandasnya.

Kuatnya disrupsi digital berdampak signifikan pada nasib media konvensional. Terlebih, dengan kemudahan akses yang ditawarkan oleh media digital, popularitas media konvensional kian menurun. Sementara itu, kehadiran media digital kian merebak di mana-mana. Dia menjelaskan data Dewan Pers pada 2018 menunjukkan jumlah media siber mencapai 43.300, meskipun yang terversifikasi saat itu hanya 65 media.

"Namun, meningkatnya kuantitas media siber secara drastis ini sayangnya tak diikuti dengan peningkatan kualitasnya. Bahkan, sebagian besar media siber ini terjerumus dalam sindrom clickbait," terang Bambang.

Dia menggarisbawahi fenomena ini menjadi tantangan utama industri media Indonesia di era kini. Bambang mengungkapkan, "Tantangan pers itu, dari puluhan ribu media sekarang itu, ada yang berkualitas tapi bahkan ada yang beracun. Tantangan di 2022 ini, orang makin kesulitan membedakan mana yang media pers sungguhan dan mana yang bukan."

Di sisi lain, Pemimpin Redaksi CNNIndonesia.com Titin Rosmasari berpandangan dampak dari revolusi digitalisasi di industri media yang paling terasa adalah persaingan yang makin ketat, tak hanya antarmedia namun juga dengan audiens.

"Sekarang itu adalah istilah prosumer, bahwa netizen adalah produsen sekaligus konsumen. Jadi, sekarang ada kesetaraan antara media dengan pembaca. Perubahan arahnya menjadi semakin acak," pungkasnya.

Meskipun begitu, ia meyakini media massa perlu beradaptasi dengan perkembangan digital. Kehadiran media sosial yang berpotensi menjadi ancaman bagi media massa, sejatinya bisa dimanfaatkan untuk kawan yang berjalan beriringan.

"Sebagian [media massa] menganggap [media sosial] sebagai kompetitor, tapi ada juga yang memanfaatkan media sosial. Sekarang ini kita berhadapan dengan pilihan ditunggangi atau menggunakan arus yang mereka [media sosial] bawa. Karena, terkait dengan perubahan perilaku audiens, sudah terbentuk ekosistem baru di mana kita harus menahan pembaca untuk tetap berada dalam ekosistem itu," ujar Titin.

Dalam hal ini, ia juga menekankan pentingnya aspek kualitas konten yang perlu dipenuhi oleh media siber. Menurutnya, kecepatan dan akurasi merupakan suatu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Selain itu, juga terdapat aspek lain yang perlu diperhatikan seperti relevansi, konteks, dan makna dari isu yang diangkat.

"Konten di era digital tidak lain kualitas adalah kuncinya," jelasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Alfi Dinilhaq

Bagikan Artikel: