Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pers Indonesia Tak Pernah Masuk Kategori Bebas, Mengapa?

Pers Indonesia Tak Pernah Masuk Kategori Bebas, Mengapa? Kredit Foto: Antara/Rahmad
Warta Ekonomi, Jakarta -

Berdasarkan data yang dimiliki oleh Freedom House, sebuah lembaga nirlaba di New York yang mengamati kondisi demokrasi di dunia, posisi tertinggi yang pernah diperoleh Indonesia hanya sebatas pers yang "separuh merdeka" (partly free). Hingga laporan Press Freedom Index dihentikan pada 2018, Indonesia tidak pernah mencapai posisi sebagai "pers bebas".

Mengamati hal tersebut, eks CEO PT Tempo Inti Media Tbk Bambang Harymurti berpendapat kebebasan pers Indonesia masih dibatasi oleh ekosistem hukum, salah satunya terkait dengan pengkategorian pencemaran nama baik sebagai pasal pidana. Ia mengutip pernyataan pakar media di World Bank Institute Roumeen Islam yang menyebut selama pencemaran nama baik tetap hadir sebagai pasal pidana, maka kecenderungan wartawan melakukan swa sensor akan tetap tinggi.

Baca Juga: Wajah Pers Indonesia di Era Disrupsi Digital

"Bila 'kebenaran' tidak bisa dijadikan dalih untuk menolak gugatan perdata pencemaran nama baik, hanya sedikit wartawan akan melakukan liputan investigasi. Sayangnya, kedua syarat itu belum dapat dipenuhi sistem hukum Indonesia," ujar Bambang dalam disksui virtualĀ Wajah Pers Indonesia Tahun 2022, Senin (31/1/2022).

Tak hanya hukum, ia menilai ekosistem ekonomi juga menghambat kebebasan pers di Indonesia. Revolusi digital membuat hanya pers yang mempunyai sumber daya finansial kuat yang mampu bertahan dan melakukan transformasi. "Soalnya, ekonomi digital, setidaknya yang terjadi sampai sekarang ini, telah menaikkan kadar persaingan usaha secara drastis hingga ke tingkat 'the winner takes all'."

Kehadiran revolusi digital ini berpotensi membuat hanya jurnalis yang, ia sebut sebagai Sisyphus, bersemangat baja saja yang dapat bertahan mengarungi gelombang dengan tetap mengibarkan panji-panji independensi dan obsesi menyampaikan kebenaran kepada publik. Para jurnalis ini tak hanya dituntut untuk mempunyai nyali dan integritas tinggi, tetapi juga kecerdikan untuk memperoleh sumber daya yang memadai dalam berselancar di gelombang tsunami digital, katanya.

"Siapakah mereka? Waktu yang akan menjawab," tutup Bambang.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Alfi Dinilhaq

Bagikan Artikel: