Ingin Terlihat Sempurna, China Diduga Habiskan Rp551 T untuk Olimpiade Musim Dingin
China lebih beruntung daripada Jepang sebagai negara penyelenggara pesta olahraga paling bergengsi di jagat raya ini. Kedua negara ekonomi terbesar di Asia itu sama-sama menyelenggarakan Olimpiade di tengah pandemi global COVID-19.
Bedanya, Olimpiade Musim Panas yang biasa dikenal dengan Summer Olympic yang digelar di Tokyo telah beberapa kali mengalami penundaan akibat pandemi sebelum akhirnya benar-benar terlaksana pada 23 Juli-8 Agustus 2021.
Baca Juga: Peneliti Bongkar Posisi Indonesia di Asia Pasifik, China Vs Amerika Makin Panas
Sementara Olimpiade Musim Dingin (Winter Olympic) digelar di Beijing sesuai jadwal pada 4-20 Februari 2022 tanpa adanya penundaan, karena didukung oleh berbagai persiapan yang sangat matang.
Persamaannya, penyelenggaraan kedua ajang global empat tahunan tersebut menerapkan sistem tertutup untuk mencegah penularan COVID-19. Meskipun implementasinya sama, kedua negara memberikan label yang berbeda. Tokyo Summer Olympic menamainya dengan "buble system", sedangkan Beijing Winter Olympic memperkenalkannya dengan istilah "close loop".
Intinya, siapa pun yang terlibat dalam ajang tersebut, baik atlet, pelatih, ofisial, wasit, perangkat pertandingan, panitia, dan sarana pendukung lainnya, harus berada dalam satu sistem kawasan tertutup agar benar-benar steril dari kontaminasi virus corona jenis baru yang dalam dua tahun terakhir ini telah bermutasi menjadi berbagai varian tersebut.
Menyelenggarakan ajang apa pun dalam skala besar tentu biayanya sangat mahal. Apalagi diselenggarakan di tengah situasi pandemi seperti saat ini. Biaya pun bertambah tak terkira, mulai pengadaan perangkat pendukung antipandemi hingga fasilitas lain kalau-kalau ada yang positif terinfeksi COVID-19.
Bisa jadi, mahalnya biaya yang dikeluarkan ini tidak sebanding dengan pemasukan, mengingat ajang tersebut tidak boleh mendatangkan penonton seperti olimpiade-olimpiade yang digelar sebelum pandemi.
Padahal kehadiran penonton, terutama para suporter dari berbagai negara, menjadi mesin pencetak uang tersendiri bagi pihak tuan rumah.
Pada Olimpiade yang digelar selama pandemi, tidak semua orang bisa duduk di tribun stadion atau di pinggir lintasan perlombaan. Semua harus diseleksi secara ketat, terutama menyangkut riwayat kesehatan dan perjalanan seseorang sehingga nantinya patut menyandang sebagai "spectator" pilihan.
Memang, Indonesia tidak mengirimkan kontingen ke ajang olahraga multi-cabang di musim dingin tersebut. Namun bukan berarti tidak ada unsur Indonesia di sana.
Setidaknya, penulis dan pucuk pimpinan Kedutaan Besar RI di Beijing menjadi sedikit di antara entitas Indonesia yang hadir secara langsung di ajang itu. Tentunya dengan persyaratan dan tahapan seleksi yang sangat ketat yang sudah berhasil dilalui. Tokyo boleh saja tidak seberuntung Beijing.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: