Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Indonesia Rebut FIR Singapura, Ngabalin; Butuh Keberanian Pemimpin

Indonesia Rebut FIR Singapura, Ngabalin; Butuh Keberanian Pemimpin Kredit Foto: Instagram/Ali Mocthar Ngabalin
Warta Ekonomi, Jakarta -

Indonesia mencapai kesepakatan dengan Singapura terkait pengambilalihan Pelayanan Ruang Udara atau Flight Information Region (FIR) Singapura yang meliputi Kepulauan Riau, Tanjungpinang dan Natura. Dengan kesepakatan ini nantinya pesawat TNI akan bebas melintasi kawasan tersebut tanpa melapor ke Singapura. 

Kesepakatan tersebut merupakan keberhasilan pemerintah yang patut di acungi jempol. Namun demikian, kebehasilan tersebut menimbulkan pro kontra, karena FIR dianggap tidak familiar di kalangam masyarakat. Bahkan dianggap syarat kepentingan politik Joko Widodo selaku presiden. 

Merespon pro kontra itu, Ali Mochtar Ngabalin, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan, masalah FIR tersebut telah berlangsung berlarut-larut. Tepatnya sejak tahun 1946, kawasan tersebut dikuasai oleh Singapura, karena sidang International Civil Aviation Organization (ICAO) di tahun 1946. 

Itu karena Indonesia baru merdeka tahun 1945, dan sidang di laksanakan pada tahun 1946, memutuskan pengelolaan kawasan ruang udara yang memberikan informasi penerbangan saat itu agar repot bagi Indonesia. Karena itu ICAO mendelegasikan ke pemerintah jajahan Inggris yang saat itu ada di Singapura. 

Dijelaskan oleh Ngabali, kenapa sampai 72 tahun dikuasai oleh Singapura, karena ada beberapa alasan, pertama masalah teknologi, dan kedua faktor Sumber Daya Manusia. Di samping dari pemerintah ke pemerintahan yang belum ada kesempatan untuk mengambilnya. 

“Ini juga menyangkut keberanian pemimpin negara, siapapun presidennya. Bahwa flight information region ini berlarut-larut, lama banget, diurus ribut, tidak diurus ribut juga,” ungkap Ngabalin, seperti dikutip dari konten YouTube Padasuka TV, yang tayang Senin (7/2/2022). 

Karena itulah mengapa Jokowi harus memulai, harus ada joint partnert, joint statement, atau kesepakatan melalui pertemuan bilateral. Selanjutnya ratifikasinya ada dua kemungkinan, pertama untuk kepentingan merevisi undang-undang, atau ratifikasi untuk membuat aturan implementasi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: