Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Jokowi Larang Ekspor Migor, Komentar Said Didu Menohok: Kebijakan dengan Pendekatan Gaya Mabuk

Jokowi Larang Ekspor Migor, Komentar Said Didu Menohok: Kebijakan dengan Pendekatan Gaya Mabuk Kredit Foto: Twitter/Said Didu
Warta Ekonomi, Jakarta -

Eks Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu menilai, larangan ekspor kelapa sawit atau bahan baku minyak goreng adalah kebijakan yang salah.

Menurutnya, larangan ekspor minyak goreng yang berlaku pada 28 April 2022 itu tak lebih dari sekedar pencitraan.

Baca Juga: DPR Diminta Perkuat Pengawasan Tata Niaga Minyak Goreng

“Saya mengistilahkan bahwa ini kebijakan bagaikan ingin mengobati ketombe, tapi yang diamputasi adalah kaki,” ujar Didu kepada RMOL, Minggu (24/4/2022).

Sebab, kata Said Didu, mahalnya harga minyak goreng di Indonesia itu bukan dikarenakan kekurangan stok.

Akan tetapi karena naiknya harga Crude Palm Oil (CPO) dunia yang disebabkan permintaan tinggi dan naiknya minyak bumi karena sebagian CPO sudah digunakan untuk energi.

“Sangat lucu. Kita kelebihan stok, tapi melarang ekspor,” kata Didu.

Larangan ekspor minyak goreng itu, sambungnya, dipastikan pabrik CPO dan pabrik minyak goreng akan mengurangi menampung tanam buah segar (TBS) dari petani karena tidak mempunyai tangki untuk menyimpan.

Menurutnya, solusi paling gampang untuk masalah ini adalah mengubah sistem DMO dan HET menjadi pola subsidi seperti halnya subsidi biosolar.

“Kita tau subsidi biosolar itu juga sudah menghabiskan sejak 2006 lebih dari Rp110 triliun uang rakyat yang dihabiskan untuk mensubsidi biosolar,” jelas Didu.

Karena itu Said Didu mengaku heran pemerintah mensubsidi besar-besaran untuk biosolar tapi tak mau mensubsidi untuk minyak goreng.

“Padahal kita tahu biosolar itu dikonsumsi orang yang punya mobil dan pasti orang yang punya mobil lebih kaya dari penjual gorengan tahu tempe yang ada di pasar-pasar,” ujarnya.

“Nah, kenapa pemerintah memilih mensubsidi orang yang punya mobil yang punya pabrik dibanding tukang tahu tukang tempe warung-warung tegal yang menggoreng itu semua tidak diberikan subsidi,” heran dia.

Didu lantas menilai, bahwa keberpihakan pemerintah kepada rakyat dinomorduakan dibanding keberpihakannya kepada orang yang lebih kaya.

“Saya heran sekali kebijakan ini. Istilah saya, ini adalah kebijakan dengan pendekatan gaya mabuk yang penuh pencitraan,” pungkas Didu.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Adrial Akbar

Bagikan Artikel: