Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bersama pemangku kepentingan terkait lainnya serius untuk melakukan upaya pencegahan dan pengendalian peredaran rokok ilegal di dalam negeri. Maraknya peredaran rokok ilegal, dapat mengancam keberlanjutan usaha industri rokok yang legal.
“Selain itu, adanya rokok ilegal juga bertentangan dengan prinsip pengembangan industri hasil tembakau (IHT), yaitu mengoptimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatifnya,” kata Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo pada acara di Jakarta, Rabu (27/4/2022).
Edy menyebutkan, regulasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi peredaran rokok ilegal, di antaranya melalui Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 72 Tahun 2008 tentang Pendaftaran dan Pengawasan Penggunaan Mesin Pelinting Sigaret (rokok).
Baca Juga: Buntut Kenaikan Cukai di Awal 2022, Pemerintah Diminta Antisipasi Peredaran Rokok Ilegal
Dalam regulasi tersebut, disebutkan perusahaan industri Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM) dan perusahaan rekondisi wajib didaftarkan pada dinas provinsi serta memiliki sertifikasi registrasi dan dilakukan pengawasan secara berkala oleh pemerintah daerah.
“Jadi, dalam upaya mencegah kegiatan produksi sigaret (rokok) ilegal yang dapat membahayakan masyarakat, perlu dilakukan pembinaan melalui pendaftaran mesin pelinting sigaret (rokok) dan pengawasan terhadap penggunaannya,” paparnya.
Regulasi berikutnya adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT). KIHT ini dibentuk oleh Ditjen Bea Cukai sebagai upaya preventif, yang diperuntukan bagi IHT skala kecil dan menengah. Sementara itu, upaya represif dilakukan penegakan hukum melalui Program Gempur Bea dan Cukai.
“Kebijakan lainnya adalah dialokasikannya Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), yang merupakan kebijakan bantalan untuk membantu mengatasi dampak negatif, antara lain untuk penanganan masalah kesehatan, untuk menekan peredaran rokok ilegal, dan lain-lain,” sebur Edy.
DBHCHT tersebut ditetapkan melalui PMK dengan besaran 2% dari perolehan cukai. Penggunaan DBHCHT, porsi terbesarnya (50%) untuk kesejahteraan masyarakat dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi di daerah.
Kemudian, sebesar 40% untuk kesehatan dalam rangka mendukung Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sisanya, 10% untuk penegakan hukum dalam rangka menurunkan tingkat peredaran barang kena cukai (BKC) illegal.
Edy berharap, dengan upaya pencegahan dan pengendalian peredaran rokok ilegal di dalam negeri, kinerja sektor IHT di tanah air dapat terjaga baik. Sebab, sektor IHT berperan strategis dalam menopang perekonomian nasional karena sebagai penyumbang devisa negara dan penyerap tenaga kerja yang cukup signfikan.
“Sektor IHT merupakan penyumbang penerimaan negara terbesar melalui cukai hasil tembakau, PPN dan PPh,” ungkapnya.
Baca Juga: Gegara Rokok Ilegal, Penerimaan Negara Berpotensi Raib Rp53,18 Triliun
Pada tahun 2021, pendapatan cukai hasil tembakau mencapai Rp188 triliun. Selain itu, Indonesia adalah negara eksportir terbesar ke-6 di dunia untuk produk IHT. Pada tahun 2021, IHT mencatatkan nilai ekspornya sebesar USD855 juta.
“Selain itu, banyak sekali masyarakat kita yang menggantungkan hidupnya dari usaha hulu sampai hilir di sektor IHT,” tuturnya. Sektor IHT ini mempunyai keterkaitan yang cukup erat dari sektor hulu ke hilir, dan berdampak luas secara sosial dan ekonomi yang melibatkan 2 jutaan petani tembakau dan cengkeh, serta 600 ribu buruh pabrik rokok, hingga melibatkan 2 juta pelaku usaha dan tenaga kerja di sektor distribusi dan retail.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri