Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ketika Rotan Tak Lagi 'Mencambuk' Potensi Ekonomi (I)

Warta Ekonomi -

WE Online, Makassar - Masa keemasan komoditas rotan di Sulawesi tercatat pada era 1980 - 2010, karena kala itu Indonesia masih memasok 85 persen rotan dunia, dan diduga memiliki potensi sekitar 70 persen lahan dunia.

Dari persentase potensi lahan rotan nasional, data Kementerian Kehutanan dan Sucofindo melansir "Annual Allowable Cut" (potensi tebang lestari) nasional sebanyak 210 ribu ton dan sekitar 125 ribu ton di antaranya menjadi potensi tebang lestari di wilayah Sulawesi.

Ketika itu, petani dan pengelola rotan di Sulawesi patut berbangga, karena di wilayah Sulawesi terdapat 25 jenis rotannya yang tumbuh di kawasan hutan. Hal ini mengungguli daerah lainnya yang juga mengembangkan rotan yakni di Jawa dan Sumatera.

Hanya saja, masa keemasan itu tidak bertahan lama. Munculnya kebijakan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 35/M-DAG/PER/11/2011 tentang Larangan Ekspor Rotan, ibarat petir di siang hari bagi petani di hulu dan pengusaha industri rotan di hilir.

"Jelang empat tahun kebijakan itu diterbitkan, hingga saat ini belum ada realisasi dari kompensasi yang disebutkan dalam Permendag tersebut," kata Sekretaris Asmindo Sulsel HA Mansyur AS di Makassar.

Dia mengatakan, janji pemerintah sebagai kompensasi dari Permendag itu sebagai dampak dari larangan ekspor rotan yakni program "comfort school with rotan" dengan penggunaan furnitur rotan di sekolah. Tetapi itu tidak berjalan, kalau pun ada hanya satu dua sekolah saja yang merupakan bagian dari program "Corporate Social Responsibility" dari BUMN atau BUMD.

Selain itu, juga dijanjikan bentuk badan penyanggah melalui sistem resi gudang yang diatur dalam Permendag Nomor 37/M-DAG/PER/11/2011. Namun hingga saat ini tidak pernah terlaksana.

"Semua kompensasi itu belum diwujudkan, termasuk mendorong investor membangun industri furnitur di daerah," katanya.

Menurut dia, untuk pasar domestik juga terbatas, karena pemakaian perabot berbahan baku rotan belum memasyarakat, karena kurangnya sosialisasi. Sementara itu, konsumen kini cenderung menggunakan perabot plastik.

Belum lagi, janji pemerintah sebagai kompensasi larangan ekspor rotan adalah melakukan transmigrasi perajin. Artinya perajin rotan di Sulawesi akan dibelajarkan pada pelaku industrI di Pulau Jawa yang lebih awal berkembang. Namun kenyataannya, konsep itu tidak pernah dilaksanakan.

Begitu pula dengan evaluasi secara berkala terhadap Permendag No 35/2011 yang telah dijanjikan, dalam tiga tahun berlakunya kebijakan itu, tidak ada evaluasi secara akademik terhadap dampaknya dari hulu dan hilir.

"Dampak dari kebijakan pemerintah dan upaya kompensasi dari pelarangan ekspor rotan itu, menyebabkan empat industri rotan di Makassar tiga di antaranya gulung tikar dan satu pindah ke Surabaya," kata Mansyur.

Sedang secara umum kondisi di Sulawesi sebelum penerbitan Permendag tentang larangan ekspor rotan itu, masih terdapat 42 unit pelaku industri setengah jadi yang mengelola komoditi rotan. Namun pasca kebijakan itu diedarkan pada 2011, jumlah industri pengelola rotan setengah jadi hanya tersisa 16 unit.

Hal itu diakui pengusaha rotan H Sanif Aco yang memiliki dua lokasi pengelolaan rotan yakni masing-masing satu unit di wilayah Sulsel dan Sulbar.

"Pengusaha industri meubel rotan kini sudah banyak yang gulung tikar. Kalaupun ada yang masih bertahan itu ibarat mati segan hidup pun tak mau," katanya.

Sebagai gambaran, katanya, pada masa kejayaan rotan di Sulawesi, industri meubel rotan miliknya memiliki sekitar 150 orang pekerja setiap hari. Namun setelah kebijakan itu terbit, maka kini sisa mempekerjakan 30 orang, itu pun hanya tiga hari kerja dalam sepekan.

Sementara kondisi di hulu, data empiris pra-Permendag 33 / 2011, di Sulawesi terdapat petani atau pengepul sebanyak 54.430 orang, namun pascakebijakan itu diterbitkan jumlah petani atau pengepul hanya 22.500 orang saja.

Selain berdampak ke sektor tenaga kerja, dari sisi produksi rata-rata per tahun sebelum kebijakan Kemendag tercatat 53.900 ton dan ekspor rata-rata (2005 - 2011) mencapai 19.000 ton atau senilai 19 juta dolar Amerika Serikat. (Ant/Suriani Mappong)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor:

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: