Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ketika Rotan Tak Lagi 'Mencambuk' Potensi Ekonomi (II)

Warta Ekonomi -

WE Online, Makassar - Kondisi itu jauh berbeda ketika sudah ada larangan ekspor rotan, produksi rotan Sulawesi hanya 18.000 ton. Hal itu disebabkan karena petani kurang bergairah lagi mencari rotan, karena pemasaran terbatas. Sedang pelaku industri setengah jadi pun kesulitan memperoleh bahan baku dan pemasarannya.

Akibat mata rantai itu, industri furnitur rotan di Sulawesi tidak berkembang, bahkan makin tergerus dengan kehadiran rotan sintetis (plastik) sebagai bahan furnitur yang semakin banyak diminati masyarakat. Sementara furnitur atau meubel rotan yang lebih ramah lingkungan, semakin terlupakan.

Rotan Mubazir Buah dari kebijakan Permendag dengan kompensasi yang belum terwujud dalam tiga tahun terakhir, menyebabkan setiap tahun sekitar 107 ribu ton rotan Sulawesi dari total 125 ribu ton kuota tebang lestari tidak dimanfaatkan alias mubazir.

"Kami petani terbatas mengambil rotan, karena yang digunakan untuk kebutuhan meubel dalam negeri hanya diameter 28 cm ke bawah, sedang diameter 28 cm - 40 cm yang biasanya untuk kebutuhan ekspor dibiarkan begitu saja di hutan," kata salah seorang petani rotan Basaruddin.

Sementara itu, tanaman rotan di hutan yang sifatnya sebagai parasit jika tidak diambil dan dimanfatkan, akan mudah menjadi pemicu terjadinya kebakaran hutan pada musim kemarau.

Menurut Sekretaris Asmindo Sulsel Mansyur, kondisi keprihatinan tersebut, termasuk dilema pelaku industri sudah disampaikan kepada pihak Badan Koordinasi Pembangunan Regional Sulawesi (BKPRS) yang diketuai Gubernur Sulbar Anwar Adnan Saleh untuk disampaikan ke pemerintah pusat.

Kondisi itu, katanya, merupakan dampak dari kebijakan Permendag Nomor 35/M-DAG/PER/11/2011 tentang Ketentuan Ekspor Rotan dan Produk Rotan.

Padahal sebelumnya Indonesia menjadi pemasok terbesar di dunia, tetapi larangan ekspor kini menyebabkan posisinya tergeser oleh negara lain seperti Filipina, Myanmar, Laos, Vietnam dan Malaysia.

Larangan ekspor rotan asalan dan rotan olahan setengah jadi itu pun berdampak di hulu dan hilir.

Sementara janji pemeritah sebagai kompensasi larang ekspor rotan itu dinilai tidak efektif. Salah satu kompensasi itu, akan membina pengusaha dan petani rotan untuk mengembangkan produk dalam negeri.

Namun kenyataan di lapangan, janji itu "lip service" belaka, sehingga industri furniture rotan sintetislah yang semakin berkembang dan secara perlahan masyarakat semakin tidak mengenal lagi furnitur rotan.

Dampak lain dari kebijakan itu, kata Mansyur, penyelundupan rotan semakin marak, karena adanya disparitas harga, sehingga pedagang pengepul lebih tertarik menjual rotannya ke negara tetangga.

"Fenomena lainnya di dalam negeri kegiatan hilirnya yakni produsen furnitur rotan terkonsentrasi di Pulau Jawa, padahal pemerintah telah menjanjikan untuk mendorong pengembangan industri di luar Jawa, khususnya Sulawesi yang memiliki potensi rotan terbanyak jenisnya.

Berkaitan dengan hal tersebut pelaku industri meubel yang tergabung dalam Asmindo maupun Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (Asperindo) pada pertemuannya di Makassar pekan ini, meminta pemerintahan baru di bawah duet kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden HM Jusuf Kalla bersama kabinetnya, khususnya Kemendag untuk mengevalusi kebijakan Permendag Nomor 35 / 2011, termasuk SK 36/2011 tentang Antarpulau Rotan dan SK 37/2011 tentang Resi Gudang.

Apatah lagi, salah satu dari kompensasi larangan ekspor rotan itu adalah pemerintah berjanji mengevaluasi secara berkala kebijakan tersebut secara akademik terhadap dampaknya di hulu dan di hilir, namun kenyataannya hingga kini belum pernah ada. (Ant/Suriani Mappong)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor:

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: