Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Polemik Kebijakan Pembatasan PLTS Atap, Transisi Energi Pemerintah Cuma Retorika?

Polemik Kebijakan Pembatasan PLTS Atap, Transisi Energi Pemerintah Cuma Retorika? Kredit Foto: SUNterra
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kebijakan yang dikeluarkan oleh PT PLN (Persero) dengan membatasi penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap sebesar 10 sampai 15 persen menjadi polemik yang tidak sedikit menimbulkan pertentangan di tengah masyarakat.

Pasalnya kebijakan tersebut yang mungkin salah satunya ditujukan untuk menjaga over supply listrik yang dialami oleh perusahaan listrik pelat merah tersebut menjadi penghambat pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia.

Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menilai kebijakan yang dikeluarkan oleh PLN merupakan salah satu hambatan menuju net zero emission (NZE) pada 2060.

Baca Juga: PLN Batasi Penggunaan PLTS Atap, Produsen Panel Surya: Transisi Energi Pemerintah Hanya Retorika

"Betul sekali (menghambat), jadi itulah yang menjadi salah satu yang menghambat pengembangan energi baru terbarukan," ujar Sugeng saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Kamis (4/8/2022).

Sugeng mengatakan, PLN melakukan hal tersebut lantaran mereka merasa listrik yang ada saat ini masih kelebihan stok. Di mana Pulau Jawa saja mengalami kelebihan stok listrik mencapai 7 gigawat (GW), ditambah lagi jika ada pemanfaatan PLTS lantas mengurangi konsumsi PLN. 

Menurutnya, PLN tidak boleh menggunakan alasan tersebut. Maka dari itu, sudah seharusnya PLN mengambil kebijakan lebih dalam untuk mengurangi kelebihan stok energi fosil.

"PLTU yang sudah tidak efisien segera ditutup agar Pulau Jawa atau di mana pun tidak terjadi over supply sehingga alasan PLTS tidak boleh dikembangkan karena semata-mata listrik masih terlalu banyak, maka tutup saja PLTU yang polutif dan tidak efisien, harus tegas karena kalau tidak tegas, tidak akan ketemu [solusi] sampai kapan pun," ungkapnya.

Sugeng menegaskan untuk dapat beralih ke energi hijau, pemerintah harus berani mengeluarkan kebijakan yang mendorong agar Perjanjian Paris dapat dicapai sesuai dengan yang disepakati.

"Iya, harus itu, bahkan harus ada insentif, kalau batu bara disubsidi (dengan DPO), apalagi PLTS yang ramah lingkungan mestinya harus disubsidi, bukan sebaliknya seperti sekarang," ujarnya.

Tidak Ada Dasar Teknis

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebut kebijakan PT PLN (Persero) terkait pembatasan pengguanan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap tidak memiliki dasar teknis.

"Pembatasan instalasi PLTS Atap yang dilakukan PLN tidak memiliki dasar teknis," ujar Fabby saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Kamis (11/8/2022).

Fabby mengarakan, motivasi daripada PLN adalah melindungi pendapatan dan monopoli penyediaan tenaga listrik, meskipun dampak dari pengurangan penerimaan dari 1 GigaWat (GW) PLTS Atap terhadap penerimaan PLN sangat kecil, yaitu di bawah 0,2 persen.

Lanjutnya, pembatasan ini juga mempersulit pemerintah mencapai target bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025. Dengan kapasitas pembangkit energi terbarukan saat ini yang baru mencapai 10 GW, masih diperlukan 13-14 GW pembangkit energi terbarukan hingga 2025. 

"Sementara itu, RUPTL PLN hanya merencanakan pembangkit ET beroperasi 10 GW di 2025. Ini pun kalau seluruhnya bisa terbangun tepat waktu. Kekurangan ini bisa dikejar oleh PLTS, khususnya PLTS Atap. Sebagaimana yang direncanakan pemerintah, program PSN PLTS Atap sebesar 3,6 GW sd 2025," ujarnya.

Fabby melanjutkan, tindakan PLN menjadi penghambat peningkatan PLTS Atap yang dilakukan swadaya oleh masyarakat dan bisnis. Dampaknya adalah PLN mematikan peluang usaha, penciptaan dan penyerapan tenaga kerja, serta memangkas potensi pertumbuhan ekonomi dari investasi PLTS Atap.

Maka dari itu, kebijakan tersebut sudah seharusnya segera dicabut oleh pemerintah ataupun PLN itu sendiri.

"Harus dihentikan karena sebenarnya pembatasan itu tidak ada dasar hukumnya. Perlu segera diakhiri karena sudah berdampak besar," tutupnya.

NZE Hanya Retorika

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: