Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Berikan Dampak Multiganda, tapi Program PSR Masih Hadapi Kendala, Apa Itu?

Berikan Dampak Multiganda, tapi Program PSR Masih Hadapi Kendala, Apa Itu? Pekerja menurunkan Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari atas mobil di Desa Lemo - Lemo, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, Sabtu (2/7/2022). Harga TBS kelapa sawit tingkat pengepul sejak sebulan terakhir mengalami penurunan harga dari Rp2.280 per kilogram menjadi Rp800 per kilogram disebabkan banyaknya produksi. | Kredit Foto: Antara/Akbar Tado
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktur Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Dr. Tungkot Sipayung, mengkritisi lambatnya Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang menjadi program strategis pemerintahan Joko Widodo. Padahal, program ini dinilai memberikan dampak multiganda kepada petani, salah satunya dari aspek ekonomi.

"Dana tersedia, petani ada, lahannya siap, tetapi realisasi PSR jauh dari harapan. Sejak dari 2017, saya minta supaya ada percepatan bagi program ini," kata Tungkot saat menjadi pembicara Focus Group Discussion (FGD) bertemakan "Penguatan Kemitraan Dalam Pelaksanaan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) untuk Kesejahteraan Pekebun", Kamis (13 Oktober 2022).

Baca Juga: Selalu Sudutkan Sawit, Padahal Begini Jejak Pelaku Deforestasi Dunia

Dalam pemaparannya, dijelaskan Tungkot, lima tahun PSR berjalan, realisasi PSR pada akhir tahun 2021 baru mencapai sekitar 256,5 ribu hektare (berdasarkan luas rekomendasi teknis) atau 242,1 ribu hektare (berdasarkan transfer dana PSR dari BPDPKS). Realisasi tersebut masih sekitar 32 persen dari target PSR pemerintah dan hanya 19 persen dari target PSR best practices perkebunan.

Tidak hanya itu, Tungkot juga menguraikan empat masalah utama percepatan PSR di Indonesia. Pertama, masalah legalitas kebun sawit rakyat (SKT, SK Kawasan, STBD, dan lain-lain). Kedua, berkaitan dengan keengganan pekebun karena hilangnya income dan pekerjaan petani pada masa replanting/PSR (TBM).

Ketiga, kemampuan Pekebun dan kelembagaannya dalam proses pengajuan PSR. Keempat, berkaitan keterbatasan kapasitas dalam proses keputusan Rekomtek. Masalah lainnya, kata Tungkot, makin lambatnya realisasi PSR karena petani diwajibkan memenuhi surat keterangan bebas gambut dan tidak tumpang tindih dengan Hak Guna Usaha (HGU).

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: