Kredit Foto: Antara/Patrik Cahyo Lumintu
Kelangkaan minyak goreng (migor) di masyarakat diduga karena pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET).
Penetapan kebijakan tersebut dianggap bermasalah, karena tak ada inflasi yang berlebihan. Terbukti, setelah HET dicabut, migor kembali membanjiri pasar-pasar masyarakat.
Hal ini terungkap dalam Sidang kasus dugaan korupsi pemberian izin ekspor crude palm oil (CPO) digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, saat Jaksa Penuntut Umum (JPU menghadirkan saksi pegawai di Direktorat Statistik Harga BPS, Wiji Tri Wilujeng.
Dalam kesaksiannya, Wiji menyebut Badan Pusat Statistik (BPS) tak pernah mengukur harga CPO Internasional, karena bisa dengan mudah diakses di World Bank.
Wiji menyebut, harga minyak goreng pada Januari dan Februari itu malah mengalami deflasi atau penurunan harga sebesar 9,17 persen.
Meski demikian,Wiji mengatakan tidak ada standar untuk mengkategorikan inflasi 0,8 persen itu termasuk tinggi atau rendah. Sementara pemerintah dalam mengambil kebijakan menggunakan asumsi inflasi tinggi rendah itu sekitar 3 persen pemerintah secara umum.
"Tapi itu kalau dari sisi pengambilan kebijakan itu biasanya pemerintah menetapkan asumsi inflasi tinggi rendah itu sekitar 3 persen pemerintah secara umum tapi ya, yoy (year on year) alias inflasi tahunan, kalau yang saya sampaikan barusan adalah inflasi bulanan,” ujar Wiji.
Wiji juga mengungkapkan, BPS tidak pernah menetapkan inflasi bulan ini kecil dan tidak pernah mengasumsikan kecil atau besar.
"Tapi ini segini bulan Januari sekian misalnya 0,56 berarti kontribusi migor 0,01 berarti 0,55 dari komoditas lain seperti itu kami tidak pernah judge inflasi kita kecil atau rendah. Kalau ada yang bilang inflasi kecil itu bukan dari kami,” ucap Wiji.
Sementara itu, akademisi Universitas Al-Azhar Indonesia Sadino mengatakan, jika inflasi tak berlebihan atau signifikan seharusnya pemerintah tak perlu menetapkan kebijakan harga eceren tertinggi (HET) yang tercantum dalam Permendag Nomor 6 Tahun 2022.
"Tingginya harga minyak goreng, sudah terjadi sejak November 2021 dan tidak menyebabkan terjadinya kelangkaan. Kelangkaan minyak goreng baru terjadi saat kebijakan HET ditetapkan." kata Sadino.
Menurut Sadino, setelah HET ditetapkan pemerintah, minyak goreng menjadi langka. Kemudian setelah, bulan Maret kebijakan HET dicabut, minyak goreng membludak di pasaran. Artinya, HET penyebab kelangkaan minyak goreng.
“Jadi kelangkaan minyak goreng bukan disebabkan pelaku usaha melakukan ekspor berlebihan, namun karena adanya kebijakan HET,” tegas Sadino.
Selain itu, lanjut Sadino, saksi yang dihadirkan dalam beberapa kali persidangan tak menyebutkan adanya kerugian negara. Bahkan saksi dari PT POS Indonesia mengatakan, BLT itu program pemerintah untuk sembako, termasuk salah satunya minyak goreng.
Kisruh migor mengakibatkan kerugian bagi pemerintah, pelaku usaha dan yang paling mengalami kerugian adalah petani kelapa sawit yang sampai saat ini belum pulih dan berdampak pada pemeliharaan kebun sawit saat ini yang tentunya mempengaruhi produktivitas kebunnya pada tahun berikutnya.
Sementara itu pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia Faisal Basri, menilai kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyetop ekspor CPO adalah kebijakan terburuk sepanjang masa karena merugikan semua pihak.
Faisal Basri, mengatakan masalah kelangkaan minyak goreng yang terjadi beberapa waktu lalu tak terlepas dari larangan pemerintah mengekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya. Dia menilai kebijakan itu adalah keputusan terburuk sepanjang masa.
"Sebobrok-bobroknya pemerintah pasti bikin kebijakan ada yang diuntungkan ada yang dirugikan, ini enggak ada. Dirugikan semua. Pemerintah rugi, pengusaha dirugikan, rakyatnya dirugikan, dan petaninya dirugikan,” ujar dia.
Faisal menjadi salah satu saksi ahli penggugat dalam sidang gugatan terhadap Presiden Joko Widodo alias Jokowi dan mantan Menteri Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta Timur.
Faisal mengatakan seharusnya pemerintah dalam menentukan kebijakan berdasarkan analisis dampaknya.
"Jadi sebelum mengambil kebijakan kan bisa dihitung, dampaknya siapa yang diuntungkan dan dirugikan bisa dihitung,” tegas Faisal.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: