- Home
- /
- EkBis
- /
- Agribisnis
Soal Larangan Ekspor Minyak Sawit ke Uni Eropa, Ekonom Beri Rekomendasi untuk Indonesia
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat mengusulkan rekomendasi sikap yang dapat diambil oleh pemerintah dalam menangani pelarangan ekspor minyak sawit ke Uni Eropa.
Seperti diketahui, Uni Eropa melarang produk minyak sawit Indonesia masuk ke wilayah Uni Eropa dengan alasan bahwa minyak sawit Indonesia hasil dari deforestasi. Oleh karena itu, seluruh produk berbahan dasar minyak sawit, baik itu minyak goreng, biodiesel, biofuel, ataupun bioavtur dilarang untuk dipasarkan di Uni Eropa.
Atas hal itu, Indonesia menyampaikan gugatannya dengan kasus nomor DS-593 . Sebab, pelarangan itu berdampak pada diskriminasi terhadap minyak sawit Indonesia melalui RED II di WTO.
Baca Juga: Kemitraan jadi Kunci Sinergi Industri Kelapa Sawit Sebagai Penopang Ekonomi Negara
"Uni Eropa tidak berpihak kepada kebijakan perdagangan yang fairness. Ini akan mengesankan bahwa kebijakan perdagangan Uni Eropa dipimpin oleh pejabat eropa yang anti-perdagangan, proteksionis," kata Achmad dalam keterangannya, Kamis (10/11/2022).
Dia berpendapat ada dua skenario yang mungkin terjadi pasca-gugatan. Pertama, bila Indonesia memenangkan gugatan. Pada skenario ini, UE harus mematuhi keputusan tersebut. Namun, ada kemungkinan UE akan mengajukan banding menggunakan arbitrase ad hoc. Bila ini masuk ke kondisi hukum void, Indonesia tidak akan bisa menggunakan WTO untuk membatalkan larangan RED.
Adapun skenario kedua bila Indonesia kalah gugatan. Bila skenario ini yang terjadi, maka kemungkinannya Indonesia akan mengajukan banding atas keputusan menggunakan 'arbitrase ad hoc' untuk membawa UE ke meja perundingan selanjutnya.
"Pembabatan hutan untuk lahan sawit adalah alibi yang tidak tepat digunakan untuk menekan Indonesia," ujar Achmad.
Dia menyoroti soal moratorium yang diterbitkan pada 2005 silam, bahwa pembukaan lahan sawit tak boleh dengan membabat hutan.
"Harus diakui bahwa lahan sawit memang membuat hayati tersingkir, tapi setidaknya lahan tersebut masih berupa lahan hijau. Pada kenyataannya banyak juga pembukaan lahan hutan menjadi kawasan tambang yang jauh lebih merusak tapi produknya diterima di negara-negara Eropa seperti batu bara dan lain-lain," jelas dia.
Seandainya minyak nabati yang dijadikan avtur sebagai bahan bakar, lanjut dia, maka manfaatnya tidak berbeda dengan avtur yang berasal dari fosil. Dua-duanya mempunyai dampak buruk bagi lingkungan.
Untuk itu, Achmad merekomendasikan jalan keluar lain yang dapat diambil oleh Indonesia selain melakukan konfrontasi. Menurutnya, jalan ini lebih menguntungkan dengan prinsip win-win solution.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Rosmayanti