Upaya mencari teknologi yang tepat untuk mengurangi emisi dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) terus digaungkan sejumlah pihak. Kian kemarin, teknologi yang hadir pun terus berkembang dan makin mumpuni untuk mengurangi emisi dari PLTU secara signifikan. Seperti yang diungkapkan Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), teknologi Selective Catalytic Reduction (SCR) sejauh ini menjadi teknologi yang paling bisa diandalkan untuk mengurangi emisi dan polusi udara dari PLTU.
Menurut Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Nasional Walhi Dwi Sawung, dari beberapa teknologi untuk mengurangi polusi udara, SCR bisa dikatakan menjadi yang terdepan.
"SCR salah satu yang terkini, sebenarnya banyak. Nah, dia itu (SCR) fungsinya untuk mengurangi nitrogen oksida (NOx)," ujarnya.
Baca Juga: Akhir Kisah PLTU Batubara Bertransisi ke Energi Terbarukan
Dengan SCR, NOx akan tereduksi. Misalnya dari angka 100 ke atas, bisa turun hingga 50 ke bawah. Dari angka-angka tersebut, dinilau SCR mampu menurunkan angka NOx yang terbilang besar. Ia menjelaskan, penerapan SCR pada PLTU saat ini memang sangat diperlukan. Alasannya, karena polusi udara di bumi sudah tinggi. Di negara maju, seperti Jerman, Amerika Serikat, China, dan Jepang teknologi SCR sudah sekian lama diterapkan.
Sementara Mamit Setiawan menuturkan, penerapan teknologi SCR ataupun Carbon Caputure (CCUS), bagi banyak kalangan memang bukan dianggap sebagai green energy. Teknologi ini, lanjutnya, merupakan pengembangan dari teknologi dalam rangka mengurangi gas karbon.
“Tapi mengingat untuk pensiun dini pembangkit itu butuh biaya besar, maka pemanfaatan teknologi yang bisa mengurangi karbon, saya kira bagus. Apalagi 2060 kita menuju NZE yang mana energi fosil sebagai energi primer ini bisa dikurangi atau bahkan di hilangkan dan diganti dengan EBT,” tuturnya, Minggu (12/11).
Hanya saja, kekurangan dari teknologi ini menurutnya adalah investasinya yang besar. Namun, jika dibandingkan dengan early retirement atau pensiun dini terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), teknologi ini masih jauh lebih lebiih murah. Mamit menyebutkan, teknologi SCR bisa diandalkan menuju green energy yang dicanangkan pemerintah.
Di negara maju, seperti Jerman, Amerika Serikat, China, dan Jepang teknologi SCR sudah diterapkan. Teknologi SCR di negara-negara maju juga digunakan untuk PLTU yang menggunakan batu bara disandingkan dengan amonia. Selective Catalytic Reduction adalah teknologi yang sudah terbukti untuk menurunkan nitrogen oksida dan nitrogen dioksida dengan mengkonversikan molekulnya menjadi air dan nitrogen bebas.
Dengan menggunakan Selective Catalytic Reduction pada pembangkit tenaga uap batu bara bersamaan dengan low Nox burner akan secara signifikan menurunkan kadar nitrogen oksida dan nitrogen dioksida dan oleh karena itu akan membuka kemungkinan co-firing jauh lebih banyak amonia hijau dibandingkan batu bara di dalam pembangkit tenaga uap batu bara.
Baca Juga: Garap Hidrogen dan Amonia Hijau, Pertamina Jalin Kerja Sama
Potensi peningkatan emisi NOx dari hasil pembakaran ammonia dapat diminimalisasi melalui teknologi SCR itu, yang mampu mengurangi konsentrasi NOx dalam gas buang dari sekitar 1000 ppm menjadi kurang dari 10 ppm.
Buat Indonesia yang sedang mempromosikan transisi energi terbarukan, amonia biru dan hijau dapat menjadi salah satu bagian dari perjalanan menuju transisi energi terbarukan, sebagai sumber energi bersih alternatif bagi pembangkit tenaga uap batu bara.
Amonia sendiri merupakan merupakan bahan kimia alami yang ditemukan di udara, air, tumbuhan, dan hewan. Bahan kimia ini terdiri dari atom nitrogen dan hidrogen, dan prosesnya di alam terjadi secara alami melalui siklus nitrogen.
Di sisi lain, amonia juga diproduksi sebagai bahan sintetis. Belakangan, istilah “green” disematkan juga terhadap amonia yang menggunakan 100% bahan terbarukan dan bebas karbon. Salah satu cara membuat 'green amonia' adalah dengan menggunakan hidrogen dari proses elektrolisis air dan nitrogen yang dipisahkan dari udara.
Selama ini, amonia memiliki peran penting terutama dalam industri pertanian untuk produksi pupuk. Di samping itu, amonia juga digunakan sebagai sumber energi untuk transportasi dan dapat digunakan dalam produksi poliamida, asam nitrat, nilon, obat-obatan, bahan peledak, refrigeran, pewarna, cairan pembersih, dan bahan kimia industri lainnya.
Dilihat dari sisi deteksi kebauan, amonia memiliki kebauan khas sehingga dapat memberikan peringatan dini yang sangat berharga tentang potensi emisi yang dapat membahayakan dan fitur tersebut tidak ditemukan dalam hidrogen murni.
Terakhir, keunikan amonia sebagai bahan bakar tidak mengandung karbon. Hal ini berarti dalam pembakarannya tidak menghasilkan emisi karbon dioksida. Hal ini disebabkan satu-satunya produk samping dari amonia adalah air dan nitrogen.
Sayangnya, penggunaan amonia dalam sistem energi ternyata masih sangat terbatas. Sekitar 80% dari penggunaan amonia global masih terkait dengan industri pupuk dan hanya kurang dari 1% digunakan sebagai sumber energi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri