Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menilik Potensi Industri Hulu Migas di Masa Transisi Energi Hijau

Menilik Potensi Industri Hulu Migas di Masa Transisi Energi Hijau Kredit Foto: SKK Migas

Peran Industri Hulu Migas

Mamit menilai keinginan pemerintah untuk melakukan transisi energi hijau untuk mencapai NZE harus berjalan berdampingan dengan investasi hulu minyak dan gas (Migas).

Menurutnya, hal tersebut perlu dilakukan lantaran industri hulu migas masih memberikan kontribusi cukup besar bagi negara termasuk bagi penerimaan negara cukup signifikan dan memberikan multiplier effect yang juga luas.

"Terkait dengan investasi hulu migas dan transisi ini harus berjalan berdampingan karena sampai dengan saat ini transisi energi adalah keniscayaan ataupun clean energy dan masih membutuhkan waktu yang cukup panjang terlihat dari target pemerintah yaitu sampai dengan 2060," ujar Mamit saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Selasa (22/11/2022).

Menurutnya, selama transisi energi menuju NZE, energi fosil masih tetap dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut terlihat dari dampak konflik antara Rusia dan Ukraina memberikan dampak yang sangatlah luas.

Pasalnya, jika dilihat secara ekonomi ini karena memang konflik antara Rusia dan Ukraina berdampak terhadap kenaikan harga komoditas terutama gas, minyak bumi, dan batu bara yang notabene adalah energi fosil.

"Sebenarnya masyarakat masih sangat membutuhkan energi fosil tersebut menurut saya belum ada yang benar-benar menggantikan energi fosil dari energi green tersebut karena energi green tersebut lebih banyak di sektor ketenagalistrikan tapi kalau BBM-nya masih belum," ujarnya. 

Hal tersebut bisa terjadi jika ke depan untuk kendaraan memang semuanya menggunakan kendaraan listrik. Itu pun bisa saja, tetapi tinggal dilihat darimana sumber energinya.

"Apakah tetap dari fosil dalam hal ini batu bara atau sudah menggunakan semuanya green karena sampai sejauh ini energi pembangkit dari energi bersih ini masih bersifat intermiten belum menjadi base load dan yang sudah menjadi base load hanya beberapa seperti geothermal maupun PLTA," ungkapnya.

Waktunya Meninggalkan Energi Migas

Terus berkurangnya cadangan minyak dan gas (migas) Indonesia dari tahun ke tahun sudah seharusnya menjadi perhatian semua pihak agar dapat beralih ke energi baru terbarukan (EBT).

Pengamat ekonomi dan energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan cadangan migas yang ada di Indonesia sudah menurun jauh dan tidak begitu besar lagi dibandingkan cadangan migas dari berbagai negara.

"Bahkan dibanding Vietnam, cadangan yang lebih besar Vietnam," ujar Fahmy saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Jumat (18/11/2022). 

Fahmy mengatakan, jika pun masih ada cadangan lainnya terletak di relung atau di tengah laut yang sulit untuk eksplorasi dan eksploitasi.

"Kalaupun bisa itu butuh teknologi dan biaya investasinya akan semakin besar sehingga investor juga enggak akan tertarik untuk eksploitasi di Indonesia," ujarnya. 

Melihat hal tersebut ditambah tren yang sedang terjadi saat ini, di mana negara-negara di dunia sedang melakukan transisi dari energi fosil ke EBT harus diikuti Indonesia. 

"Jadi sekarang memang trennya ke EBT karena transisi energi diberlakukan hampir di seluruh dunia, itu yang memicu investor untuk beralih ke EBT," ungkapnya.

Sebagai informasi, berdasarkan laporan Tahunan Ditjen Migas ESDM 2019, cadangan minyak bumi per 1 Januari 2019 adalah sebesar 3.774,6 juta standar barel (MMSTB). Sekitar 68 persen dari cadangan tersebut telah terbukti, dan sisanya bersifat terduga.

Dalam perkembangannya, data SKK Migas hingga 31 Desember 2021 mencatat jumlah cadangan terbukti minyak Indonesia tinggal 2.360 juta barel.

Menurunnya investasi Migas

Fahmi menilai masifnya kampanye untuk beralih dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT) membuat investasi di industri energi fosil semakin menurun.

"Kalau melihat prospeknya investasi di fosil ini sudah suram di mana investor juga sudah meninggalkan (energi fosil), juga kemudian mereka sudah mulai beralih ke EBT," ujar Fahmi saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Jumat (18/11/2022).

Fahmi mengatakan, penurunan investasi di industri berbasis fosil khususnya hulu minyak dan gas (migas) mulai terjadi sejak pandemi Covid-19 melanda dunia pada 2020.

"Sejak Covid-19 terjadi penurunan yang sangat drastis investasi di hulu migas, di mana pemain-pemanin besar, investor asing juga bahkan ada yang mengundurkan diri," ujarnya. 

Menurunnya investasi di hulu migas diperburuk dengan adanya transisi energi yang migrasi dari fosil ke EBT. Fahmi menilai hal tersebuti sangat berpengaruh terhadap investasi dari investor tadi yang akan menanamkan modalnya di industri hulu migas.

"Membuat mereka mulai mengalihkan investasi hulu migas ke investasi energi baru terbarukan karena masa depan yang akan dilakukan Indonesia dan negara lain juga ada kewajiban untuk melakukan migrasi tadi dan ini juga akan mempengaruhi investor," ujarnya.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: