Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Diungkap Saksi di Sidang Kasus Migor: Harga Eceran Tertinggi Penyebab Kelangkaan

Diungkap Saksi di Sidang Kasus Migor: Harga Eceran Tertinggi Penyebab Kelangkaan Kredit Foto: Antara/Yusuf Nugroho
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi permohonan izin (PE) ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya di Pengadilan Tipikor Jakarta makin menarik.

Pasalnya, saksi yang dihadirkan belum mampu mengungkapkan adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan terdakwa serta bukti kerugian negara.

Mantan Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Sutedjo Halim menilai penyebab kelangkaan minyak goreng (migor) di pasaran adalah akibat kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng yang ditetapkan pemerintah, dan bukan ekspor CPO yang berlebihan.

Sutedjo mengakui, ada disparitas harga yang signifikan, antara nilai keekonomian dengan HET minyak goreng yang ditetapkan pemerintah. Kondisi ini menyebabkan selisih yang cukup tinggi antara harga produksi minyak goreng dengan HET di pasaran.

"Betul karena ada selisih harga yang cukup tinggi antara harga keekonomian dengan harga di market. HET menjadi salah satu penyebab kelangkaan minyak goreng, artinya kelangkaan minyak goreng bukan diakibatkan ekspor yang berlebihan, " ucap Sutedjo.

Tak hanya itu, menurut Sutedjo, tingginya harga CPO di dunia serta proses distribusi dan logistik yang bermasalah juga menjadi penyebab kelangkaan minyak goreng. Salah satu penyebab tingginya harga minyak sawit mentah di dunia yakni akibat perang antara Ukraina dan Rusia.

Sementara itu Kepala Sub Direktorat Ekspor pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Vitha Budhi Sulistyo, mengungkapkan fakta dimana pelaku usaha penerima persetujuan ekspor (PE), tidak wajib merealisasikan jumlah kuota ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunan yang didapatnya.

Vitha juga menegaskan bahwa tidak digunakannya fasilitas PE bukanlah pelanggaran. Menurut dia pelaku usaha memiliki hak untuk menggunakan atau tidak fasilitas PE CPO. KMK hanya mengatur soal PE yang sudah diberikan oleh Kemendag. Pihak Bea Cukai hanya melihat PE yang diberikan Kemendag terkait pemberian izin ekspor CPO.

"Hanya (melihat) PE-nya saja. Kami di tim teknis tidak melihat jumlah realisasi atau jumlah kami hanya melihat jumlah kuota yang tersisa di-PE," katanya.

Bahkan dalam sidang sebelumnya, saksi menyatakan biasanya penetapan kebijakan HET diambil karena adanya inflasi yang tinggi. Sementara saat itu, kondisi cukup stabil. “

Inflasi tak berlebihan atau signifikan seharusnya pemerintah tak perlu menetapkan kebijakan harga eceren tertinggi (HET) yang tercantum dalam Permendag Nomor 6 Tahun 2022,” kata Wiji Tri Wilujeng dari Direktorat Statistik Harga Badan Pusat Statistik (BPS)

Menurut Wiji, tingginya harga minyak goreng, sudah terjadi sejak November 2021 dan tidak menyebabkan terjadinya kelangkaan. Kelangkaan minyak goreng baru terjadi saat kebijakan HET ditetapkan.

Ia mengatakan setelah HET ditetapkan pemerintah, minyak goreng menjadi langka. Kemudian setelah, bulan Maret kebijakan HET dicabut, minyak goreng membludak di pasaran. Artinya, HET penyebab kelangkaan minyak goreng.

“Jadi kelangkaan minyak goreng bukan disebabkan pelaku usaha melakukan ekspor berlebihan, namun karena adanya kebijakan HET,” tegasnya. Mantan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Oke Nurwan mengungkapkan pihaknya mengakui tidak ada prosedur yang dilanggar.

Selain itu, dia juga menyebut pelaku usaha berperan penting dalam mengatasi soal kelangkaan minyak goreng yang pernah terjadi di Indonesia. Bahkan menurutnya, Mantan Menteri Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi, pun menyampaikan terima kasih kepada pelaku usaha karena turut serta mengatasi masalah kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng (migor).

Kemudian saksi Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan (Kemendag), Farid Amir, juga mengakui perusahaan-perusahaan tersebut telah memenuhi Domestic Market Obligation (DMO) alias kewajiban pemenuhan minyak kebutuhan dalam negeri.

“Sehingga layak untuk mendapatkan izin ekspor, sebab sudah memenuhi semua prosedur,” kata Farid Amir. Hal tersebut juga terungkap dalam persidangan-persidangan sebelum dan sesudahnya, hampir semua saksi menyatakan semua permohonan Persetujuan Ekspor (PE) CPO dan turunannya lengkap sesuai aturan yang berlaku.

Semua dokumen yang diajukan sebagai syarat PE sudah sesuai dengan Permendag No. 2 tahun 2022 dan Permendag No. 8 Tahun 2022 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.

Setelah melihat fakta persidangan tersebut dan persidangan sebelumnya, praktisi hukum Dr. Hotman Sitorus menilai perbuatan melawan hukum yang dituduhkan tak terbukti. Sehingga tuduhan korupsi terhadap terdakwa terbantahkan.

“Jika proses pengurusan PE CPO telah sesuai dengan prosedur, berarti tidak ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PTS. Maka dugaan korupsi dalam pengurusan PE CPO tidak terpenuhi,” tegas Hotman.

Menurut Hotman, dalam setiap pidana korupsi, setidaknya harus ada unsur;Pebuatan melawan hukum, Kerugian Keuangan Negara atau Kerugian Perekonomian Negara, danMemperkaya diri sendiri atau orang lain.

Tanpa ada pebuatan melawan hukum maka tidak ada korupsi. Tanpa ada kerugian keuangan negara juga tidak ada korupsi. Tanpa ada memperkaya diri sendiri atau orang lain juga tidak ada korupsi.“Ketiga unsur itulah yang harus diuraikan secara jelas dan terang dan kemudian dibuktikan di depan pengadilan,” jelas Hotman.

Jadi, lanjutnya, setelah mendengan kesaksian para saksi, bisa dikatakan ketiga unsur kabur. Tidak terdapat hubungan sebab akibat antara satu unsur dengan unsur lain. Tidak terdapat hubungan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa dengan kerugian keuangan negara.

“Sehingga, tidak terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian keuangan negara dengan memperkaya perusahaan,” kata Hotman.

Hotman menjelaskan, unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang didakwakan adalah menggunakan dokumen yang dimanipulasi dalam pengurusan Persetujuan Ekspor (PE) melalui aplikasi INATRADE dalam kurun waktu 01 Februari 2022 s.d. 16 Maret 2022 (lebih kurang dua bulan).

“Pertanyaan mendasarnya, bagaimana mungkin para terdakwa dalam jabatan yang berbeda-beda ada yang sebagai Dirjen, sebagai General Affair, sebagai konsultan, sebagai Senior Manajer, Komisarisdari perusahaan yang berbeda-beda pula bertanggung jawab atas kebenaran data permohonan PE melalui aplikasi INATRADE ? Bukankah pemasukan data melalui aplikasi dilakukan oleh para data operator,” kata Hotman.

Seperti apa yang dialami Pierre Togar Sitanggang dalam pemeriksaan saksi-saksi juga menunjukkan tidak ada perbuatan melawan hukum karena semua prosedur yang dilakukan perusahaan-perusahaan tersebut telah sesuai prosedur yang berlaku.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Boyke P. Siregar

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: