Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ahli dari UI: Bisnis AMDK Harus Diatur

Ahli dari UI: Bisnis AMDK Harus Diatur Kredit Foto: Ilustrasi Galon BPA
Warta Ekonomi, Jakarta -

Dalam sebuah workshop di Jakarta, pada Senin, 8 November 2022, Pengawas Perdagangan di Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa, Kementerian Perdagangan, Binsar Yohanes M Panjaitan mengatakan migrasi BPA tidak dipersyaratkan dalam pengujian mutu SNI (Standar Nasional Indonesia) terhadap air minum dalam kemasan (AMDK) gallon polikarbonat (plastik keras).

Dari daftar parameter uji yang disampaikan Binsar, SNI, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 69 Tahun 2018, juga tidak ada kriteria terkait masa atau usia pakai galon polikarbonat.

Mengetahui tidak adanya BPA dan masa pakai galon pada parameter uji mutu SNI pada AMDK, ahli ekonomi dan bisnis Universitas Indonesia, Tjahjanto Budisatrio mengaku terkejut.

Dia kemudian menyebut industri AMDK, khususnya galon, sebagai industri yang tak diatur atau unregulated industry.

"Ini problem. Ketika tak diregulasi, industri kayak hukum rimba. Yang menguasai akan makin semena-mena,” katanya dalam diskusi dengan FMCG Insights di Jakarta, pada Kamis, 17 November 2022.

Menurut Tjahjanto, BPA merupakan ekternalitas negatif dari produk AMDK galon polikarbonat karena Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), melalui uji sampel di lapangan, telah menemukan bukti migrasi BPA.

Oleh karena itu, sudah sewajarnya, selain BPOM mewajibkan pelabelan pada AMDK galon polikarbonat, Kementerian Perdagangan juga memasukkan BPA ke dalam daftar parameter uji mutu SNI.

"Harusnya ada BPA dalam SNI karena BPA kan sudah ada ambang batas amannya,” katanya.

Yang dimaksud Tjahjanto adalah ambang batas aman migrasi BPA sebesar 0,6 bpj (bagian per juta) yang telah ditetapkan di dalam peraturan BPOM.

Mempertimbangkan hasil uji lapangan yang dilakukan BPOM, Tjahjanto makin melihat pentingnya BPA dimasukkan ke dalam daftar kriteria uji SNI.

Hasil uji lapangan BPOM menunjukkan ada 3,4 persen sampel di sarana distribusi yang tingkat migrasi BPA-nya sudah melampaui 0,6 bpj atau sudah melanggar aturan.

Dalam rentang migrasi 0,05 bpj (ambang batas aman standar Eropa) hingga 0,6 bpj (ambang batas aman standar Indonesia), ditemukan 46,97 persen sampel di sarana distribusi dan 30,91 persen sampel di sarana produksi.

Lalu soal tidak adanya ketentuan mengenai usia pakai galon polikarbonat, Tjahjanto memandang hal itu juga telah merugikan konsumen.

Selain ada potensi migrasi BPA makin besar karena galon terus digunakan, konsumen juga merugi karena membeli galon yang bisa jadi bukan galon baru tapi yang sudah diproduksi bertahun-tahun lalu.

Tjahjanto menjelaskan, ketika seorang konsumen yang telah membeli galon untuk pertama kalinya pada 2022, misalnya, dengan harga Rp50.000, tidak ada jaminan konsumen tersebut akan memperoleh galon yang diproduksi pada tahun yang sama, terutama ketika menukar galon.

"Sangat mungkin dia mendapatkan galon yang diproduksi pada 2014, misalnya kata Tjahjanto, “sehingga nilai yang diterima konsumen saat dibayarkan pada 2022 ditukar dengan produk galon 2014 yang mempunyai nilai lebih rendah daripada yang seharusnya bisa diperoleh.”

Semua itu bisa terjadi karena tidak ada ketentuan yang dipublikasikan terkait sampai kapan galon-galon polikarbonat itu bisa dipakai.

"Tidak ada jaminan konsumen memperoleh galon yang diproduksi pada tahun pembelian, apalagi jaminan galon itu aman dari migrasi BPA karena tidak ada ketentuannya dalam SNI,” papar Tjahjanto.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: