Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Demi Kepastian Usaha, Butuh Standar Metode Penghitungan Kerugian Negara

Demi Kepastian Usaha, Butuh Standar Metode Penghitungan Kerugian Negara Kredit Foto: Antara/Adeng Bustom
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah dinilai perlu mempertimbangkan adanya aturan yang mengatur tentang penghitungan kerugian negara, khususnya terkait tindak pidana korupsi, baik yang dilakukan perseorangan maupun korporasi. Selain untuk menjamin adanya kepastian hukum, juga untuk terciptanya kepastian usaha di Tanah Air. 

"Kalau ini belum diatur bahaya, setiap orang nanti pakai metode berbeda sesuai dengan seleranya, tidak ada kepastian dan standarisasi," kata Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Haula Rosdiana kepada wartawan, Senin (26/12).

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 disebutkan, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi sulit dibuktikan secara akurat. MK menyebutkan hal itu harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss) bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss).  

"Di sisi lain, hingga saat ini belum ada aturan yang mengatur metode penghitungan kerugian perekonomian negara, " kata Guru Besar Perempuan pertama di Indonesia pada Bidang Perpajakan ini. 

Ia mencontohkan soal tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait kasus dugaan korupsi minyak goreng. Menurutnya, tuntutan yang dilayangkan tidak berdasar, terutama perhitungan kerugian negara.

Untuk diketahui, saksi ahli JPU melakukan penghitungan kerugian ekonomi negara menggunakan metode input-output (I-O). Dirinya yang juga dilibatkan sebagai saksi ahli pun menyatakan itu tidak tepat, karena metode I-O biasanya digunakan dalam perencanaan pembangunan. 

"Itu berarti bukan sesuatu yang riil. Kita berbicara mengenai tuntutan hukum, berarti harus fakta hukum dong, kalau fakta hukum itu bukan prediksi atau asumsi," ujarnya.

Disampaikan pula bahwa pengusaha juga mengalami kerugian dalam masalah ini, seperti dipaksa menjual minyak goreng sesuai harga eceran tertinggi (HET) di saat harga CPO melambung. Hal tersebut juga mestinya jadi pertimbangan berdasar asas keadilan.

"Ada yang tidak dijelaskan secara detil oleh ahli yang digunakan JPU, yaitu pengorbanan produsen berkaitan dengan HET itu, bagaimana dia tetap menjual meskipun sebetulnya itu sudah dibawah harga keekonomisan," jelas Haula.

Hal ganjil lainnya adalah tak dipertimbangkannya pemenuhan minyak goreng di pasaran (DMO) dan benefit ekspor yang menjadi pemasukan negara. Maka dari itu, menurutnya tuntutan JPU kurang tepat.

"JPU menuntut sesuatu yang sebetulnya belum jelas dan tidak bisa dihitung. Tidak bisa dihitung. Belum ada dasar hukum untuk menentukan bagaimana dihitung dan siapa yang menghitung," terangnya.

Sementara itu, Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Benny Soetrisno juga mengkritisi tuntutan ini. Menurutnya hal itu akan berdampak buruk pada ekonomi dalam negeri, karena tanpa dasar hukum kuat sehingga membuat takut investor atau calon investor.

"Kalau tuntutan pidananya seperti itu jelas terlalu jauh dan terkesan mengada-ada. Ini membuat orang dan investor akan semakin takut berusaha dan menanam investasinya di Indonesia,” ujar Benny.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Sufri Yuliardi
Editor: Sufri Yuliardi

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: