Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kasus Morowali dan Asingnya Pekerja Dalam Negeri di Tanah Air Sendiri

Kasus Morowali dan Asingnya Pekerja Dalam Negeri di Tanah Air Sendiri Kredit Foto: PT Gunbuster Nickel Industry (PT GNI)

Dia menjelaskan bahwa dirinya tak melihat adanya kesenjangan di lapangan. Malah, kata dia, TKA China memiliki bobot beban kerja yang lebih berat dari TKI.

“Mereka kerja nonstop. Pulang kerja juga mereka wajib masuk mes dan tidak boleh keluar. Jadi, kalau dibilang TKA senang, kalau melihat kondisi lapangan, saya kira justru pekerjaan mereka berat,” papar Delis.

Di sisi lain, Achmad menyindir kelompok elite negara yang terkesan lebih mementingkan politik dan abai dengan problem genting di Morowali. Pasalnya, para elite negara sibuk dengan berbagai agenda politik untuk menyambut Pemilu 2024.

“Pertanyaan yang muncul dengan apa yang terjadi di Morowali adalah di mana peran negara berada? [Bukannya] negara harus hadir menciptakan keamanan dan kenyamanan untuk semua?” kata Achmad.

Absennya pemerintah dalam kasus Morowali juga diungkapkan oleh Perwakilan Serikat Pekerja Nasional (SPN) Wilayah Morowali Utara Katsaing. Menurut dia, ketika Serikat Pekerja tengah berjuang menghadapi PT GNI, pemerintah setempat tak menunjukkan batang hidungnya untuk membantu mereka.

“Padahal, jika kami belum paham, tentu pemerintah ini yang harus memberikan pemahaman kepada kami, mana yang keliru, mana yang masih kurang. Persoalan-persoalan ini yang tidak diluruskan oleh pemerintah setempat, baik itu Disnaker Kabupaten Morowali maupun Disnaker Provinsi Sulawesi Tengah,” akunya.

Melihat Insiden Morowali dari Kacamata Makro

Achmad berargumen insiden Morowali bukan kasus yang sifatnya berada di level mikro. Keberpihakan pemerintah terhadap TKA China menunjukkan akar permasalahan berada di dalam sistem. Artinya, konflik ini merupakan persoalan makro yang membutuhkan perbaikan dari segi kebijakan pemerintah.

Argumen senada juga diungkapkan oleh eks Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu. Dalam dialog di Indonesia Lawyers Club, Kamis (19/1/2023), Said berpendapat konflik Morowali merupakan hasil bom waktu yang meledak akibat kebijakan ‘karpet merah’ oleh pemerintah.

Kebijakan ‘karpet merah’ itu sendiri merujuk pada sikap pemerintah yang memberikan keistimewaan kepada pihak-pihak tertentu yang dibungkus dengan kata ‘investasi’. Akibatnya, muncul ketidakadilan yang dialami rakyat dan membuat rakyat seolah terjajah.

Tradisi keberpihakan negara kepada asing disebut telah berlangsung di Indonesia sejak era Orde Baru. Achmad mengungkit Peristiwa 15 Januari 1974 atau Malari yang juga dipicu oleh persoalan ketidaksetaraan penanaman modal asing. Baik Peristiwa Malari maupun kasus Morowali sama-sama terjadi karena pekerja lokal memperjuangkan kesamaan hak dengan pekerja asing. Kasus Morowali yang terjadi 49 tahun setelah Peristiwa Malari menunjukkan Indonesia masih terjebak dalam kuasa hegemoni asing.

Bila pemerintah terus tunduk pada kontrol hegemoni asing, maka peristiwa sejenis ini masih berpotensi untuk terjadi di waktu-waktu mendatang. “Manakalanya akar kejadian ini sama, kejadian ini akan terus berulang,” ungkap Achmad.

Said menegaskan pemerintah perlu membedakan investasi dengan menjual negara. Investasi perlu memenuhi empat kondisi, yakni ketika uang dari pihak luar digunakan untuk membuka lapangan kerja, meningkatkan nilai tambah, mendongkrak pendapatan, dan memacu pertumbuhan ekonomi. Bila keempat kondisi itu tidak terpenuhi, terlebih rakyat yang menjadi korban, maka negara bukan sedang menggencarkan investasi, melainkan menjual negara kepada pihak asing.

“Saya betul-betul berharap pemerintah menggunakan kasus ini untuk mengevaluasi semua kebijakan agar tidak terjadi lagi,” ujar Said.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: