- Home
- /
- EkBis
- /
- Agribisnis
Prof Amzul Rifin Uraikan Dampak Kebijakan Bea Keluar Sawit dan Biji Kakao Terhadap Petani dan Industri
Demi mendukung kebijakan hilirisasi produk pertanian, pemerintah menerapkan kebijakan bea keluar untuk beberapa komoditas. Dua komoditas yang dikenakan bea keluar ini antara lain kelapa sawit dan biji kakao. Keduanya merupakan produk andalan Indonesia yang masih diekspor dalam bentuk bahan mentah.
Prof Amzul Rifin, Guru Besar Ilmu Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University menjelaskan dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah Guru Besar IPB University (23/02) bahwa kebijakan tersebut merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan daya saing dan kesejahteraan petani.
Baca Juga: Prof Widodo dari IPB University Bicara Kunci Tingkatkan Produktivitas Sawit Nasional Jangka Panjang
"Harapannya dapat meningkatkan harga dan nilai tambah produk ekspor dengan mengolahnya di dalam negeri," terangnya, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (24/2/2023).
Pakar perdagangan pertanian internasional ini menguraikan lebih lanjut terkait kebijakan bea keluar kelapa sawit dan biji kakao di Indonesia dan pengaruhnya terhadap petani dan industri. Dari sisi kebijakan, ia melanjutkan, perhitungan bea keluar minyak sawit berbeda pada setiap periode. Sejak diterapkan dari tahun 1994, kebijakan bea keluar sawit sudah mengalami empat kali perubahan.
"Perhitungan ini sudah progresif. Artinya, bila harga dunia meningkat, bea keluar ikut mengalami peningkatan. Contohnya pada kenaikan harga minyak goreng, dengan meningkatnya bea keluar, harapannya bahan baku crude palm oil (CPO) di tingkat domestik menurun," ujar Prof Amzul.
Sementara, lanjut dia, perhitungan bea keluar biji kakao sejak April 2010 hingga saat ini masih sama. Teorinya, kebijakan bea keluar ini akan menurunkan harga domestik sehingga akan berdampak pada berbagai pihak yang terkait, terutama petani. Dampak kebijakan ini terhadap hilirisasi dinilai relatif sama kedua komoditas.
Penerapan kebijakan ini menyebabkan terjadinya dominasi produk refined palm oil (RPO) hasil olahan CPO. Di sisi lain, pada kasus biji kakao, penerapan bea keluar mengakibatkan ekspor biji kakao mengalami penurunan drastis sejak tahun 2015. Biji kakao digantikan oleh ekspor produk olahan kakao seperti kakao bubuk, pasta dan butter.
"Bea keluar menurunkan daya saing ekspor pada kasus minyak sawit dan biji kakao. Penurunan ini dialami karena dengan adanya bea keluar tidak ada insentif untuk melakukan ekspor sehingga kuantitas ekspor menurun," imbuhnya.
Sementara dari sisi petani, kebijakan bea keluar akan menurunkan harga domestik. Menurutnya, petani seringnya harus menanggung penurunan ini, terutama untuk produk sawit yang mestinya ditanggung pengguna CPO itu sendiri. Sementara, yang dirugikan pada penerapan kebijakan bea keluar biji kakao ditanggung oleh eksportir karena marginnya terpotong.
Ia menambahkan, dampak bea keluar berbeda pada kasus minyak sawit dan biji kakao di tingkat petani. "Pada kasus minyak sawit, penerapan bea keluar akan menurunkan harga tandan buah segar (TBS), sedangkan pada kasus biji kakao, beberapa penelitian menunjukkan bahwa penerapan bea keluar tidak memengaruhi harga biji kakao di tingkat petani," katanya.
Baca Juga: Kaya Akan Vitamin A dan E, Komoditas Kelapa Sawit Ternyata Jadi Sasaran Industri Farmasi
Ia mengungkapkan, pada tahun 2021 pemerintah telah mendapatkan penerimaan bea keluar yang besar dari kedua komoditas ini. Penerimaan dari sawit sebesar Rp4,2 triliun. Sebuah angka yang cukup besar dibandingkan biji kakao yang hanya sebesar Rp41,5 miliar akibat penurunan ekspor.
"Saya merekomendasikan bahwa penerimaan negara sebaiknya dialokasikan kepada petani yang menderita kerugian penurunan harga TBS dalam bentuk subsidi harga, sedangkan impor biji kakao dapat dikurangi dengan peningkatan suplai biji kakao dalam negeri," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait:
Advertisement