Miliarder Silicon Valley Sebut Dolar Akan Tetap Berkuasa: Banyak Negara yang Bergantung Pada Dolar
Miliarder Silicon Valley Chamath Palihapitiya mengungkap bahwa posisi greenback sebagai mata uang cadangan global berisiko kecil berubah dalam waktu dekat. Menurutnya, sekalipun dolar sampai melemah, pemodal ventura yang disebut SPAC King ini pun mengatakan akan mempertahankan posisi dominannya, dan berpotensi memberikan lebih banyak alasan bagi negara lain untuk berdagang dengannya.
"Posisi dolar AS tidak berubah. Sekali lagi, Anda harus ingat banyak dari pemerintah asing ini, 187 atau berapa pun jumlahnya negara di luar Amerika Serikat, bergantung pada dolar AS," kata Palihapitiya, mengutip Business Insider di Jakarta, Jum'at (19/5/23). "Mereka tidak ingin memiliki mata uang mereka sendiri."
Baca Juga: Nilai Tukar Rupiah Hari Ini Tumbang ke Angka Rp14.926 per Dolar AS
Komentarnya terkait dengan pendapatnya tentang pengeluaran AS, dan sebagai tanggapan atas pernyataan baru-baru ini dari investor miliarder Stanley Druckenmiller memperingatkan anggaran yang tidak terkendali dapat menciptakan masalah fiskal yang serius di masa depan.
Palihapitiya mengakui hal ini dapat menyebabkan rezim inflasi, tetapi tidak mengakhiri supremasi dolar.
"Dolar memang dinaikkan, tetapi daya beli yang meningkat itu juga benar-benar mendorong keseimbangan kekuatan kembali ke Amerika Serikat karena semua orang ini tiba-tiba menemukan kemampuan untuk mengimpor sedikit lebih murah, ekonomi mereka menjadi sedikit lebih baik, tetapi dolar AS sebenarnya masih bagus," katanya.
Perspektif Palihapitiya mengukur terhadap peringatan baru-baru ini bahwa de-dolarisasi sedang berjalan dengan baik. Banyak analis menunjuk pada munculnya alternatif, seperti yuan Tiongkok dan mata uang bersama yang diusulkan di antara apa yang disebut negara-negara BRICS, Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan.
Pada saat yang sama, beberapa negara telah mengemukakan gagasan untuk menggunakan mata uang lokal di atas dolar, seperti india dan India.
Namun, dalam episode podcast sebelumnya, Palihapitiya menyebut masalah de-dolarisasi sebagai kegagalan besar, terutama mendorong gagasan bahwa yuan adalah ancaman serius, mengingat yuan dikontrol terlalu ketat oleh China untuk menjadi tulang punggung perdagangan global.
Sementara itu, dolar yang lebih lemah dapat terwujud lebih cepat jika krisis plafon utang yang sedang berlangsung gagal diselesaikan sebelum AS gagal bayar, yang dapat terjadi segera setelah 1 Juni.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajria Anindya Utami
Editor: Fajria Anindya Utami
Tag Terkait:
Advertisement