Utang Melonjak Imbas Tingkat Imbal Hasil yang Tinggi, Staf Kemenkeu Bandingkan dengan Era SBY
Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla (JK) mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ia saat ini membayar utang hingga Rp1.000 triliun per tahun. Salah satu pemicu tingginya cicilan utang tersebut ditengarai karena mahalnya bunga utang dan juga tingginya tingkat imbal hasil utang yang diberikan oleh pemerintah kepada pemberi utang.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menyebut bahwa hal tersebut tidak ada masalah selama utang tersebut digunakan untuk hal yang produktif, misalnya seperti pembangunan infrastruktur. Ia kemudian menyatakan bahwa pemerintah saat ini terbuka terhadap semua kritikan, termasuk soal utang negara.
“Kami tetap berpandangan bahwa pembangunan itu adalah kontinuitas atau sebuah kesinambungan. Bahwa kita perlu membandingkan, kami rasa itu hal yang wajar juga kita memberikan penilaian mana yang kurang, mana yang sudah lebih yang kurang tentu perlu dioptimalkan, yang sudah menjadi keunggulan tentu dipertahankan dan ditingkatkan,” kata Yustinus, dikutip dari kanal Youtube CNBC Indonesia pada Sabtu (03/06/23). Baca Juga: Stafsus Sri Mulyani Buka-bukaan 10 Fakta Utang di Masa Pemerintahan Jokowi
Ia menjelaskan bahwa tingkat imbal hasil utang pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang lebih tinggi dibandingkan dengan pemerintah Jokowi.
“Kalau kita lihat imbal hasil surat utang negara itu lebih tinggi atau masih tinggi. Saya coba bandingkan rata imbal hasil atau dari tahun 2004-2014 itu sekitar 9,4% sedangkan rerata yield dari tahun 2015 sampai dengan 2022 itu sekitar 7,23%. Di periode Pak SBY itu pernah 21% sedangkan di periode Pak Jokowi tertinggi itu sekitar 9,79%,” katanya.
Ia menyatakan bahwa tingkat imbal hasil utang yang lebih tinggi di era Presiden SBY disebabkan oleh upaya pemerintah untuk membangun reputasi dan kepercayaan kepada pemberi utang.
“Tentu ini tergantung pada konteks yang harus dilihat kita tahu awal-awal penerbitan surat utang di periode Bapak SBY juga menterinya kita sedang berjuang untuk membangun reputasi atau trust dari global dengan surat utang kita maka wajar kalau dulu imbal hasilnya cukup tinggi. Saat ini sudah relatif lebih rendah sebenarnya dan itu juga perjuangan yang cukup lama kita membangun reputasi ekonomi kita sehingga lembaga rating yang reputable juga memberi penilaian yang cukup baik,” katanya.
Sementara itu, ia menjelaskan bahwa dalam melihat pertumbuhan ekonomi, tidak bisa hanya dilihat dari satu perspektif saja, melainkan juga harus dilihat dari faktor-faktor pembentuk Pendapatan Domestik Bruto (PDB), misalnya seperti rumah tangga, investasi, ekspor-impor, dan belanja pemerintah. Baca Juga: Utang Negara Meningkat, Ini Kata Staf Khusus Menteri Keuangan
“Tadi juga dibandingkan defisit APBN dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Tentu ini perlu didalami supaya tidak loncat ke kesimpulan karena APBN itu dalam kue ekonomi kita ukurannya sekitar 18-20%. Artinya faktor pembentuk produk domestik bruto kita itu ada empat variabel, antara lain konsumsi rumah tangga, investasi, ekspor impor, selain belanja pemerintah. Di sini kita juga perlu melihat kita fokus pada pertumbuhan tinggi tapi inflasi juga tinggi atau pertumbuhan yang moderat tapi inflasi terkendali,” jelasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Novri Ramadhan Rambe
Editor: Fajar Sulaiman
Tag Terkait:
Advertisement