Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pakar: Anggaran Kesehatan Harus Diutamakan karena Mampu Tingkatkan PDB

Pakar: Anggaran Kesehatan Harus Diutamakan karena Mampu Tingkatkan PDB Kredit Foto: Ist
Warta Ekonomi, Jakarta -

Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment INDEF Ariyo DP Irhamna mengungkapkan bahwa ada korelasi positif antara kesehatan dan meningkatnya Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara.

“Sektor kesehatan mampu meningkatkan GDP, baik secara short-term maupun long-term,” jelas Ariyo dalam diskusi virtual Menakar Penghapusan Mandatory Spending RUU Kesehatan yang diadakan INDEF, Selasa (4/7/2023).

Menurut studi yang diadakan oleh Swiss pada tahun 2011, peningkatan persentase harapan hidup sebanyak satu persen dapat membantu meningkatkan persentase PDB sekitar tiga sampai sembilan persen dalam jangka pendek. Sementara dalam jangka panjang, peningkatan persentase harapan hidup dapat meningkatkan PDB pada 11 negara yang menjadi studi kasus pada studi ini. 

Baca Juga: Mandatory Spending Dihapus, Anggaran Kesehatan Terancam Makin Menipis?

“Kebutuhan pengeluaran akan kesehatan itu semakin meningkat setelah pandemi. Sampai 2040 akan ada peningkatan karena setelah pandemi banyak negara tersadar bahwa tidak ada negara yang siap dalam menghadapi situasi pandemi. Sehingga, banyak sekali negara yang mendorong meningkatkan anggarannya untuk kesehatan,” ujar Ariyo.

Sehingga, Ariyo berpendapat bahwa pemerintah seharusnya meningkatkan anggaran mandatory spending untuk kesehatan, bukan malah menghapusnya.

Urgensi terkait mandatory spending untuk kesehatan seharusnya menjadi perhatian khusus bagi Pemerintah Indonesia. Dengan lebih memperhatikan kesehatan, maka dipastikan Indonesia akan memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang lebih produktif dan memiliki tingkat kesiapan kerja yang matang, sehingga mampu mendorong peningkatan PDB Indonesia.

Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF, Rusli Abdulah menambahkan bahwa Pemerintah Indonesia juga harus fokus pada akses penyediaan makanan bergizi mengingat masih ada 13,77% desa dengan warga yang mengalami gizi buruk.

“Takutnya bonus demografi akan tergerus oleh adanya sebagian masyarakat Indonesia yang sakit-sakitan karena masa kecilnya mereka stunting,” ujar Rusli risau.

Jika masalah gizi buruk di Indonesia belum teratasi, Indonesia tidak dapat memanfaatkan bonus demografi secara maksimal yang akan dimiliki dalam beberapa tahun mendatang.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: