Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Daya Saing Tak Meningkat, Pemerintah Dinilai Perlu Evaluasi Program HBGT untuk Industri

Daya Saing Tak Meningkat, Pemerintah Dinilai Perlu Evaluasi Program HBGT untuk Industri Penampungan gas di kilang RU V Balikpapan, Kalimantan Timur, Kamis (2/6/2022). Kilang terbesar kedua di Indonesia tersebut merupakan penyuplai utama ke wilayah Papua-Maluku. | Kredit Foto: Antara/Indrayadi TH
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah diminta untuk mengevaluasi sektor industri dan perusahaan penerima harga gas murah yang dinilai telah membebani keuangan negara. Pasalnya sejak diberlakukan pada 1 April 2020, program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dengan bandrol USD 6 per MMBTU telah membuat negara harus merogoh kocek untuk subsidi hingga Rp29 triliun. Sementara penerimaan negara dari para pelaku usaha penerima subsidi gas hulu tersebut diperkirakan hanya sekitar Rp 15 triliun. 

“Evaluasi oleh pemerintah terkait kebijakan subsidi yang membebani keuangan negara ini jelas harus dilakukan. Tetapi harus ada riset dari Kementerian Perindustrian atau Kementerian PPN/Bappenas. Jadi harus dilihat apakah manfaat yang didapatkan dari program HGBT sejauh ini melebihi subisidi yang dikeluarkan pemerintah,” tegas Pengamat Ekonomi UGM Eddy Junarsin, Selasa (8/8/2023).

Eddy menambahkan program HGBT ini otomatis menguntungkan industri yang masuk di dalamnya. Menurutnya tidak mungkin negara terus menerus memberikan subsidi, sementara penerima subsidi untungnya terus membesar karena subsidi itu. 

“Untuk jangka pendek subsidi harus tetap ada, tetapi perlu berbagai perbaikan, termasuk kualitas produk yang dihasilkan harus semakin baik. Selain itu, komunikasi pemerintah harus lebih baik seperti misalnya alasan penetapan HGBT, industri yang dipilih, manfaat yang didapatkan,” lanjut Eddy. 

Baca Juga: Antisipasi Kelangkaan LPG 3 Kg, UU Migas Perlu Direvisi

Berdasarkan data Kementerian ESDM, program harga gas USD 6 per MMBTU menyebabkan penerimaan bagian negara hilang Rp 29,39 triliun. Hilangnya penerimaan negara sebesar itu terjadi akibat penyesuaian harga gas bumi setelah memperhitungkan kewajiban pemerintah kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). 

“Pemerintah menanggung penurunan penerimaan negara sebesar Rp 16,46 trilun pada 2021 dan Rp 12,93 triliun untuk tahun 2022. Kebijakan HGBT mewajibkan pemerintah untuk menanggung biaya selisih harga dengan mengurangi jatah keuntungan penjualan gas negara sehingga tidak membebani jatah atau keuntungan kontaktor,” jelas Direktur Jenderal Migas, Tutuka Ariadji dalam sebuah rapat dengan DPR pada April tahun ini.

Menurut Eddy pemberian subsidi harga gas kepada sektor industri selama 2 tahun ternyata juga tidak menjamin adanya peningkatan daya saing dan membesarnya kontribusi penerima subsidi terhadap perekonomian negara. Padahal dua aspek tersebut termasuk bagian dari tujuan pemerintah ketika menetapkan program harga gas USD 6 per MMBTU.

“Meskipun sudah menerima subsidi, belum tentu produk dari industri tersebut semakin kompetitif. Kalau lebih murah mungkin iya. Namun perlu diingat, ada faktor lain agar produk tersebut kompetitif seperti kualitas, inovasi, quality control, hingga layanan customer service,” tandasnya.

Ia kemudian mencontohkan masih besarnya impor keramik asal China. Padahal melalui program harga gas murah pemerintah berharap perusahaan keramik lokal, yang juga menerima harga gas USD 6, mampu bersaing di pasar domestik. Tidak hanya itu saja, perusahaan keramik yang menerima subsidi ternyata belum bisa maksimal menyerap alokasi gas yang diberikan oleh pemerintah. 

Baca Juga: Pantau dan Sidak Seluruh Wilayah RI, Pertamina Pastikan Pasokan LPG Subsidi Aman

Pekan lalu Kementerian Perindustrian menyebut, produk keramik asal Cina masih banyak beredar di pasar Indonesia. Banjir keramik asal Cina ini menyebabkan utilisasi industri keramik Indonesia menurun. Pada kuartal I 2023, utilisasi industri keramik Indonesia sebesar 75%,  turun dibandingkan kuartal I 2022 sebesar 78%.

“Kami lihat memang banyak produk keramik impor yang beredar di pasar," ujar Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif di kantor Kemenperin, Jakarta, Senin (31/7).

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian terdapat sebanyak 217 perusahaan dari 7 industri penerima HGBT dengan total alokasi sebesar 1.253,36 BBTUD pada 2022. Dari total alokasi tersebut, realisasi volume gas yang terpakai hanya mencapai 83,02% atau 1.040,54 BBTUD.

Dari 7 sektor industri tersebut, dua sektor yaitu industri baja dan keramik merupakan penerima gas subsidi dengan penggunaan gas terendah. Industri baja memperoleh alokasi 76,34 BBTUD kepada 63 perusahaan. Dari alokasi tersebut, gas yang terserap hanya 67,5% atau 51,29 BBTUD.Sementara itu terdapat jatah 130,60 BBTUD gas murah kepada Industri keramik. Sayangnya terpakai hanya 89,66 BBTUD atau 68,65%.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: