- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
Ekonom Energi Sebut Penyebab Utama Polusi Udara di Jabodetabek Bukan PLTU, Tapi...
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, buruknya kualitas udara di Jabodetabek yang menyentuh angka 156 pada Air Quality Index (AQI) atau tidak sehat dikarenakan sejumlah faktor.
Memburuknya kualitas udara di Jabodetabek terjadi karena adanya pembuangan emisi dari transportasi yang menggunakan energi fosil dan aktivitas industri di wilayah Jabodetabek.
Fahmy menilai, meskipun terdapat tiga PLTU yang beroperasi di sekitar Jabodetabek (PLTU Suryalaya, PLTU Banten, dan PLTU Lontar), namun ketiga PLTU itu bukanlah penyebab utama dari buruknya kualitas udara di Jabodetabek.
Baca Juga: Udara Makin Buruk, Startup Databiota Hadirkan Solusi untuk Mengatasi Masalah Polusi Udara
"Faktanya, emisi karbon ketiga PLTU itu sudah sangat rendah, yang ditekan di bawah ambang batas emisi sesuai ketentuan Peraturan Menteri (Permen) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen-LHK) Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 tentang Baku Mutu Emisi," ujar Fahmy dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (16/8/2023).
Bahkan Kemen-LHK menganugerahkan Proper Emas kepada ketiga PLTU tersebut yang merupakan penghargaan tertinggi bagi perusahaan yang terbukti melakukan pengelolaan lingkungan lebih dari persyaratan dan melakukan upaya-upaya pengembangan masyarakat secara berkesinambungan.
Penghargaan itu tepat karena selama ini ketiga pembangkit itu sudah menerapkan teknologi Electrostatic System Precipitator (ESP) yang mengendalikan abu hasil proses pembakaran dan menjaring debu PM 2,5, sehingga tidak berhamburan mencemari udara.
"Selain itu, ketiga PLTU itu juga menerapkan teknologi Low NOx Burner yang dapat menekan polusi NO2 sangat rendah, di bawah ambang batas ditetapkan Kementerian LHK," ujarnya.
Fahmy mengatakan, dengan kondisi tersebut, maka asap kendaraan bermotor dan asap pabrik menjadi penyumbang terbesar polusi buruk di Jabodetabek. Mengingat polusi udara Jabodetabek sudah sangat ekstrem, maka kebijakan pemerintah pun harus ekstrem.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait:
Advertisement