Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Laporan IMF: Subsidi BBM 'Picu Polusi Udara', Bagaimana dengan Indonesia?

Laporan IMF: Subsidi BBM 'Picu Polusi Udara', Bagaimana dengan Indonesia? Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemberian subsidi terhadap bahan bakar minyak (BBM) telah menjadi sebuah topik perdebatan panjang dan kontroversial di berbagai negara di seluruh dunia. Tujuan pemberian subsidi adalah untuk menjaga harga BBM tetap rendah, sehingga dapat meringankan beban ekonomi masyarakat dan mendukung sektor-sektor tertentu, seperti transportasi dan industri.

Namun, sayangnya, dibalik tujuan baik tersebut, pemberian subsidi terhadap BBM ini ternyata seringkali menimbulkan dampak yang tidak diinginkan, seperti misalnya memicu polusi udara.

Baca Juga: Kenaikan Harga BBM: Dampak Ganda bagi Masyarakat dalam Ekonomi yang Belum Pulih

Seperti yang diungkapkan dalam laporan yang diterbitkan oleh Dana Moneter Internasional, subsidi BBM tidak hanya memberikan beban fiskal yang besar pada negara-negara yang menerapkannya, tetapi juga memicu peningkatan polusi udara yang merugikan kesehatan manusia dan lingkungan.

Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa sepanjang tahun 2022, total subsidi untuk bahan bakar mencapai US$7 triliun atau Rp106.624 triliun. Namun, nilai tersebut diperkirakan akan mengalami penurunan dalam waktu dekat lantaran kebijakan harga energi diuraikan dan harga internasional mengalami penurunan. 

Kendati demikian, subsidi energi fosil diperkirakan akan meningkat menjadi US$8,2 triliun (Rp152.132 triliun) pada 2030 seiring dengan meningkatnya konsumsi bahan bakar di pasar negara yang sedang berkembang (di mana perbedaan harga umumnya lebih besar). 

Besarnya nilai tersebut diketahui akan memberikan dampak konsekuensi fiskal yang signifikan, seperti peningkatan pajak dan pinjaman atau pengurangan pengeluaran publik. Tidak hanya itu, subsidi BBM mempromosikan alokasi sumber daya ekonomi yang tidak efisien yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. 

Pemberian subsidi juga tampaknya memberikan dampak buruk terhadap lingkungan, seperti misalnya dapat menyebabkan peningkatan polusi udara lokal dan emisi gas rumah kaca yang berkontribusi pada perubahan iklim global.

Oleh sebab itu, IMF menyarankan kepada negara-negara di dunia untuk mempertimbangkan kembali kebijakan pemberian subsidi terhadap BBM. IMF mendorong negara-negara di dunia untuk menghapus subsidi BBM dan mengalihkan kepada pengeluaran sosial yang lebih tepat sasaran, pengurangan pajak yang tidak efisien, dan investasi produktif dapat mempromosikan hasil yang berkelanjutan dan adil.

"Penghapusan subsidi eksplisit untuk bahan bakar fosil, serta penerapan pajak korektif seperti pajak karbon, bisa mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) global hingga 43% pada 2030," catat laporan IMF Fossil Fuel Subsidies Data: 2023 Update.


Mengapa Subsidi BBM Bisa Picu Polusi Udara? 

Selain meningkatkan pengeluaran negara, pemberian subsidi terhadap bahan bakar polusi ternyata memberikan sejumlah dampak yang negatif terhadap lingkungan. Setidaknya ada empat efek buruk yang dapat merugikan lingkungan dan juga kesehatan manusia. 

Pertama, peningkatan penggunaan kendaraan bahan bakar fosil. Salah satu efek paling nyata dari subsidi BBM adalah peningkatan penggunaan kendaraan bahan bakar fosil. Harga yang lebih rendah mendorong masyarakat untuk lebih sering menggunakan kendaraan pribadi mereka, daripada memilih transportasi umum atau alternatif ramah lingkungan. Ini mengarah pada peningkatan emisi gas rumah kaca dan polusi udara.

Kedua, subsidi BBM juga mendorong pemilik kendaraan lama untuk tidak mengganti kendaraan mereka dengan yang lebih ramah lingkungan. Hal ini berdampak besar pada kualitas udara, karena kendaraan lama cenderung menghasilkan lebih banyak emisi polutan daripada kendaraan baru yang lebih efisien.

Ketiga, ketidakseimbangan dalam investasi energi terbarukan. Subsidi BBM membuat energi fosil tetap kompetitif secara ekonomi, yang dapat menghambat investasi dalam energi terbarukan. Negara-negara yang ingin beralih ke sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan akan menghadapi hambatan dalam bentuk subsidi yang masih menguntungkan energi fosil.

Keempat, kerusakan lingkungan. Polusi udara yang disebabkan oleh penggunaan berlebihan BBM dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan. Ini mencakup pencemaran udara, hujan asam, dan dampak negatif pada ekosistem alam.

Besar Subsidi Indonesia Peringkat Tiga Global

Berdasarkan data dari IMF, nilai subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) Indonesia pada tahun 2022 berada di peringkat ke-3 secara global, yakni setelah Arab Saudi dan Iran. Nilai subsidi Indonesia dikabarkan bernilai sebesar $25,74 miliar atau setara dengan Rp392,7 triliun.

Nilai ini meliputi subsidi bensin sebesar US$6,69 miliar (Rp102,08 triliun), subsidi diesel sebesar US$12,10 miliar (Rp184,6 triliun), subsidi minyak tanah sebesar US$3,09 miliar (Rp47,1 triliun), dan subsidi produk minyak bumi lainnya sebesar US$3,86 miliar (Rp51,5 triliun). 

Sebagaimana diketahui, pada tahun 2022, pemerintah Indonesia memang dikabarkan menanggung subsidi yang cukup besar dari dua jenis BBM, yakni Solar dan Pertalite. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa alokasi anggaran subsidi BBM tahun 2022 naik 3 kali lipat dari tahun 2021. 

Pada tahun 2021, diketahui bahwa anggaran pembayaran kompensasi dan subsidi energi sebesar Rp188,3 triliun, dengan Rp140,4 triliun untuk subsidi energi dan Rp47,9 triliun untuk kompensasi harga BBM. Sementara pada tahun 2022, anggaran melonjak menjadi Rp502 triliun. Nilai tersebut terdiri dari subsidi energi sebesar Rp208,9 triliun dan Rp293,5 triliun.

"Kita sampai harus menaikkan subsidi dan kompensasi tahun ini yang mencapai 3 kali lipat yaitu Rp502 triliun," ujarnya dalam Rapat bersama Badan Anggaran DPR-RI di Kompleks DPR-MPR, Jakarta, Selasa (23/8/2022).

Sri Mulyani menjelaskan bahwa naiknya anggaran subsidi BBM tersebut dipicu oleh kenaikan harga minyak dunia yang saat itu bernilai $100 per barelnya. Tak hanya itu, pemerintah juga harus membayarkan sisa utang kompensasi tahun 2021 yang belum dibayarkan tahun lalu.

"Inilah yang terjadi di tahun ini di mana kita harus menanggung selisih subsidi kompensasi tahun lalu sebesar Rp104,8 triliun plus ternyata dengan kenaikan BBM yang makin melonjak," jelasnya. 

Besarnya subsidi yang diberikan oleh pemerintah Indonesia terhadap BBM tersebut lalu berdampak pada kenaikan konsumsi BBM di Indonesia. Dilansir dari Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2021 yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tampak bahwa tren konsumsi BBM mulai mengalami peningkatan sejak tahun 2021.

Pada tahun 2022, tepatnya hingga bulan Juli 2022, konsumsi Pertalite telah mencapai 16,8 juta kiloliter atau sekitar 105,67 juta barel, dan Solar sebanyak 9,9 juta kiloliter atau sekitar 62,27 juta barel.

Meningkatnya jumlah konsumsi BBM tersebut tentu saja berdampak pada peningkatan polusi udara di Indonesia. Mengingat, karena harga yang cenderung rendah, masyarakat akan menggunakan bahan bakar polusi secara terus-menerus. 

Kualitas Udara di Indonesia

Sementara itu, kualitas udara di Indonesia memang bisa dibilang sudah sangat memprihatinkan. Terlebih lagi, kualitas udara di wilayah-wilayah urban, seperti misalnya Jakarta. Warna biru di langit Jakarta pun sudah jarang sekali terlihat, dan digantikan dengan warna abu-abu. 

Bahkan, pada bulan Agustus 2023, Jakarta menjadi kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Dikutip dari laman IQAir.com pada Jumat (18/8/2023), indeks kualitas udara di Jakarta berada di angka 141 AQI US, yang artinya tingkat polusi udaranya tidak sehat bagi kelompok sensitif. 

Sementara itu,  konsentrasi polutan utama PM2,5 tercatat sebesar 52 mikrogram per m3. Angka tersebut besarnya 10,4 kali lipat dibandingkan dengan nilai panduan kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 10 mikrogram per m3.

Untuk diketahui, PM2,5 atau particulate matter 2,5 merupakan polutan udara yang berukuran sangat kecil, sekitar 2,5 mikron (mikrometer). Polutan ini terbentuk dari pembuangan pembangkit listrik, industri, dan mobil.

Baca Juga: PLTU Sudah Dimatikan Tapi Kualitas Udara Jakarta Masih Saja Buruk

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: