Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

IESR: Pemerintah Bolehkan Bangun PLTU Baru, Asalkan Gunakan Teknologi CCS dan Co-Firing

IESR: Pemerintah Bolehkan Bangun PLTU Baru, Asalkan Gunakan Teknologi CCS dan Co-Firing Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah Indonesia terus mendorong transisi energi untuk mengatasi perubahan iklim dengan mengambil langkah-langkah konkret. Salah satunya adalah melalui Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 yang memperbolehkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru untuk industri dengan syarat menggunakan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan co-firing.

Hal itu diungkapkan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam seminar bertajuk Sunset PLTU dan Industri Batubara pada Rabu (27/9/2023).

“Pemerintah memang memperbolehkan bangun PLTU baru, tapi dengan mengurangi emisi gas 35% dan menggunakan teknologi CCS dan co-firing. Namun, pembangunan PLTU pun juga hanya diizinkan hingga tahun 2050, setelah itu sudah tidak ada lagi,” jelas Fabby.

Baca Juga: IESR Perkirakan 5 GW PLTU Tidak Bisa Dapat Pendanaan dari Tiongkok

Fabby mengungkapkan bahwa pemerintah tengah merancang roadmap untuk mengakhiri seluruh PLTU di Indonesia. Langkah ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam mengadopsi energi terbarukan dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Namun, masih ada sekitar 54 gigawatt (GW) dari beberapa PLTU yang masih beroperasi di sistem PLN maupun swasta. PLN telah memulai upaya-upaya penurunan emisi gas rumah kaca, termasuk program co-firing biomassa sebagai pengganti batu bara.

Targetnya adalah menggantikan 10% konsumsi batu bara dengan biomassa pada tahun 2025. Meskipun demikian, tantangan pasokan biomassa dapat memengaruhi penundaan dalam mencapai target ini.

“Ternyata pasokan biomassa sendiri tidak mudah, maka mungkin akan mundur targetnya,” tutur Fabby.

Volume batu bara yang dapat disubstitusi diperkirakan antara 8-12 juta ton, dengan potensi penurunan konsumsi batu bara hingga 15-20% setelah tahun 2030. Hal ini seiring dengan upaya meningkatkan porsi energi terbarukan, di mana RUPTL PLN sampai 2025 menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23%.

“Diharapkan, dengan adanya Just Energy Transition Partnership atau JETP, target bauran energi terbarukan dapat meningkat menjadi 34% pada tahun 2030,” bebernya.

Dampak transisi energi juga terasa dalam sektor ekonomi. Sekitar 80% produksi batu bara Indonesia untuk diekspor menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar di Indonesia. Meskipun begitu, kontribusi batu bara terhadap total Produk Domestik Bruto (GDP) hanya sekitar 4%. 

Adapun, Ilham Surya, Analis Kebijakan Lingkungan IESR, mengungkapkan bahwa perubahan menuju energi yang lebih berkelanjutan akan memengaruhi daerah-daerah penghasil batu bara dengan mengakibatkan penurunan ekspor Indonesia sekitar 40% hingga 60% dari tingkat saat ini.

Oleh karena itu, Ilham menganjurkan agar daerah-daerah produsen batu bara mempersiapkan diri untuk beralih ke sektor manufaktur sejalan dengan inisiatif pemerintah dalam mengadopsi transisi energi.

“Transformasi ekonomi diperlukan karena APBD dan PDRB ketergantungan yang tinggi terhadap batu bara dan ramalan batu bara ini turun, otomatis mereka harus mencari sektor lain,” kata Ilham.

Baca Juga: Aksi Dekarbonisasi Bisa Selamatkan Masa Depan dengan Pensiunkan PLTU Batu Bara

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Nevriza Wahyu Utami
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: