Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Dampak Timbal Terlalu Berbahaya, Ini yang Dilakukan Pemerintah

Dampak Timbal Terlalu Berbahaya, Ini yang Dilakukan Pemerintah Kredit Foto: Kemenko Marves
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melihat timbal merupakan salah satu logam berat dan dengan sifat beracun sama halnya seperti sianida yang paparanya dari produk yang digunakan sehari-hari ternyata sangat berdampak besar pada kesehatan dan lingkungan. 

"Sama kayak sianida. Sianida cepat sekali memberikan efek, timbal ini efeknya pelan tapi pasti dan mematikan juga. Pelan-pelan ini yang menyakitkan karena efeknya luar biasa," kata Sekretaris IDI Ulul Albab dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (19/10/2023). 

Ulul mengatakan, timbal dapat menempel ke berberapa zat yang tanpa disadari oleh manusia masuk melalui udara, air, dan makanan yang dikonsumsi.

"Institute for health metrics and Evaluation (IHME) menyebutkan pada tahun 2013 terdapat sekitar 853.000 kematian yang disebabkan oleh efek paparan timbal jangka panjang dan angka tertinggi di negara berkembang," ujarnya. 

Baca Juga: KemenkoMarves Ingatkan Bahaya Gunakan Bahan Timbal Dalam Industri

Menurutnya, dampak timbal tidak secara langsung, namun nyata pada kemudian hari. Penyakit jantung juga bisa muncul karena efek terpapar timbal, gangguan pencernaan seperti keracunan juga merupakan efek dari timbal.

Kemudian, ganggunan anemia yang sangat langka juga menyerang ibu hamil dengan menyerang pembulu darah hingga hancur. Gangguan hati, ginjal, dan mental juga dapat disebabkan oleh timbal.

"Timbal itu menetap dalam tubuh bisa sampai 25 tahun," ucapnya. 

Rekomendasi paling utama yang dikeluarkan IDI adalah dengan mengehentikan dan mengganti timbal. Kampanye Indonesia Bebas Timbal juga sudah dikampanyekan oleh pemerintah.

"Kita harus berani mengkampanyekan Indonesia bebas timbal, kenapa saya pakai tahun 2045 karena timbal bisa dalam tubuh manusia 25 tahun, tapi mulai nya bukan 2045 tapi harus sekarang kalau tidak sampai kiamat tidak akan kita bebas timbal," ungkapnya. 

Asisten Deputi (Asdep) Pengelolaan Sampah dan Limbah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Rofi Alhanif sepakat dengan hal tersebut, pemerintah berkomitmen untuk mulai mengurangi pemakaian timbal pada industri agar tidak memberikan dampak negatif kepada masyarakat.

"Saya kira mungkin sampai saat ini kehadiran timbal dari berbagai industri tidak bisa 100 persen dihilangkan, kami dengar sudah banyak skrng alternatif pengganti timbal tersebut, namun nampaknya belum bisa diakses oleh seluruh industri," ujar Rofi.

Dimana, berdasarkan data UNICEF lebih dari 8 juta anak di indonesia memiliki kadar timbal dalam darah diatas 5 mikrogram per desiliter, dan paparan tersebut bisa menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan anak-anak, untuk masyarakat dan bahkan bisa mengakibatkan dampak yang fatal terhadap tubuh manusia.

"Saya kira sudah banyak buktinya di indonesia yang dampaknya terlihat langsung," katanya.

Baca Juga: Sri Mulyani: Anggaran Negara Jadi Kunci Perkuat Sistem Kesehatan RI

Sementara itu, Ketua Pokja Industri Logam Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kemenperin Ginanjar Mardhikatama mengatakan, pihaknya juga mendukung industri dalam negeri yang mulai beralih menggunakan bahan baku nontimbal. 

"Bahan baku pengganti timbal itu sudah diproduksi dalam negeri, khususnya PT Timah Industri (TI) yang sudah bisa memproduksi tin stabilizer, namun karena rendahnya penyerapan dari industri dalam negeri, mayoritas produknya diekspor," ujar Ginanjar. 

Ginanjar juga mendorong kerja sama antara industri pipa PVC (PolyVinyl Chloride) sebagai pengguna tin stabilizer dengan PT Timah Industri sebagai produsen yang tin stabilizer.

"Sama-sama mutual benefit, jadi PT Timah tidak perlu mengekspor dan kebutuhan dalam negeri terpenuhi tanpa perlu impor tin stabilizer itu sendiri," ucapnya. 

Disisi lain, Kepala Subdit Penetapan B3 KLHK Yunik Kuncaraning menyebut, berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan(KLHK), sejak tahun 2022 sampai 2023 Indonesia mengimpor timbal sebanyak 41.016 ton dari Korea Selatan, Myammar, dan Australia.

"Penggunaan timbal paling tinggi digunakan di industri baterai 86 persen, kedua bisa juga digunakan untuk pelapis kabel, kemudian ada juga amunisi, pigmen industri cat karena biasanya digunakan untuk pigmen industri lain," ujar Yunik. 

Yunik menyebut, KLHK sedang melakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun, untuk memasukan timbal sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dari kategori dapat digunakan menjadi terbatas dimanfaatkan.

"Kami sedang lakukan revisi bersama Kemenperin untuk mencoba menaikan kategori timbal yang tadinya sebagai B3 yang dapat digunakan, menjadi kategori yang terbatas dimanfaatkan," ucapnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: