Sumber energi baru terbarukan diartikan sebagai sumber energi yang tidak hanya bersahabat dengan lingkungan, tetapi juga tidak berkontribusi pada perubahan iklim dan pemanasan global. Keberlanjutan ini terwujud karena sumber energi tersebut diperoleh melalui proses alam yang secara berkesinambungan memanfaatkan elemen-elemen seperti sinar matahari, angin, air, biofuel, dan geothermal. Dengan demikian, tidak hanya menciptakan sumber energi yang bersih, tetapi juga mengurangi jejak karbon dan dampak negatif terhadap ekosistem global.
Hal ini memperkuat keyakinan bahwa sumber energi baru terbarukan telah tersedia secara melimpah, tanpa memberikan dampak merugikan pada lingkungan. Kesediaan sumber energi ini menjadi landasan utama mengapa EBT (Energi Baru Terbarukan) sangat erat terkait dengan isu-isu lingkungan dan ekologi. Dalam konteks ini, permasalahan energi bukanlah hanya kepentingan lokal, melainkan menjadi prioritas global yang mencakup semua negara di dunia.
Baca Juga: Langkah Pemberantasan Kemiskinan, Program Ambisius Gibran Rakabuming untuk Indonesia
Energi bukanlah sekadar komoditas biasa; sebaliknya, ia merupakan komoditas strategis yang esensial mengingat seluruh sistem dan dinamika kehidupan manusia dan negara secara menyeluruh bergantung pada energi sebagai urat nadi kehidupan pada setiap sektor. Dalam rangka mencapai kemandirian energi nasional, program pemerintah bukanlah suatu hal yang mustahil untuk dicapai, melainkan sebuah langkah yang mendasar untuk menjaga keberlanjutan dan kestabilan seluruh aspek kehidupan dan pembangunan negara.
Keseriusan pemerintah tercermin dalam tekad untuk terus meningkatkan pasokan energi dengan memanfaatkan secara maksimal berbagai potensi yang masih belum sepenuhnya tergarap. Upaya pengembangan pemanfaatan EBT (Energi Baru Terbarukan) bukan hanya menjadi langkah strategis semata, melainkan suatu inisiatif yang perlu mendapatkan dukungan penuh dari seluruh lapisan masyarakat. Menimbang ketergantungan yang semakin besar pada energi fosil dan kekhawatiran akan semakin menipisnya cadangannya, menjadi jelas bahwa tanpa langkah proaktif ini, Indonesia berisiko terjerembab dalam krisis energi yang dapat merugikan stabilitas dan pertumbuhan negara.
Pentingnya mengantisipasi krisis energi sejatinya dapat diatasi dengan melanjutkan dan meningkatkan pemanfaatan EBT (Energi Baru Terbarukan), seperti yang ditegaskan dalam laporan ESDM tahun 2016. Dengan terus menggali potensi dan mengoptimalkan sumber daya energi terbarukan, bukan hanya memberikan jaminan keberlanjutan energi, tetapi juga meneguhkan langkah-langkah preventif yang krusial untuk menjaga ketahanan energi Indonesia di masa depan.
Pada masa kini, sumber energi yang dinikmati oleh masyarakat Indonesia, terutama dalam hal penyediaan listrik, berasal dari bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas bumi. Penting untuk dicatat bahwa bahan bakar fosil ini adalah sumber energi yang tidak dapat diperbarui, yang berarti bahwa ketergantungan saat ini pada jenis energi ini menimbulkan tantangan terkait keberlanjutan dan ketahanan energi di masa depan.
Energi listrik yang kita nikmati sehari-hari, seperti cahaya lampu dan kendaraan bermotor yang digunakan untuk bepergian, sebagian besar berasal dari sumber-sumber energi fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas bumi. Penting untuk disadari bahwa barang-barang ini terkait dengan sumber daya energi yang tidak dapat diperbarui, dan suatu saat akan habis. Tantangan ke depannya adalah bagaimana kita dapat beralih ke sumber energi yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan agar dapat memastikan ketahanan energi jangka panjang.
Sementara itu, kita harus menyadari bahwa sebanyak 95% listrik yang kita nikmati di Tanah Air berasal dari sumber energi fosil yang ketersediaannya semakin menipis dari waktu ke waktu. Dengan ketergantungan yang tinggi pada energi fosil, muncul isu lingkungan yang tidak dapat diabaikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan energi fosil berkontribusi terhadap pencemaran udara, menimbulkan kekhawatiran serius terkait dampak negatifnya terhadap kualitas udara yang kita hirup sehari-hari. Dalam konteks ini, mendesak adanya transisi menuju sumber energi yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Eksploitasi sumber daya alam tanpa keberlanjutan tentu saja memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap kualitas sumber daya alam itu sendiri. Fakta-fakta nyata seperti penurunan kualitas air di danau, penurunan kualitas udara di perkotaan, serta pencemaran tanah yang disebabkan oleh penggunaan berlebihan bahan kimia di lahan pertanian, menjadi bukti konkret dari kerugian ekologis yang dihasilkan dari praktik eksploitatif ini. Perlu diakui bahwa keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi kunci untuk mencegah dampak negatif tersebut dan menjaga integritas lingkungan.
Besarnya dampak tersebut sangat bergantung pada pola dan perilaku konsumsi, produksi, dan distribusi sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat. Pilihan konsumsi, metode produksi, serta cara distribusi sumber daya alam menjadi faktor kunci yang membentuk tingkat dampak lingkungan. Oleh karena itu, perubahan menuju praktik yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan dalam hal konsumsi dan produksi dapat memainkan peran penting dalam mengurangi dampak negatif terhadap sumber daya alam.
Perubahan iklim saat ini menjadi sorotan utama masyarakat dunia karena dampaknya yang menyebabkan peningkatan temperatur rata-rata dunia secara tidak wajar. Peristiwa ini tidak hanya mengakibatkan gangguan pada keseimbangan lingkungan, tetapi juga menimbulkan ancaman serius terhadap kesehatan manusia dan ketahanan pangan. Penyebab utama dari perubahan iklim ini dapat ditelusuri pada aktivitas produksi listrik, terutama yang didominasi oleh pembangkit listrik tenaga batubara dan pembangkit listrik tenaga gas bumi, yang bersumbang 30% dari total emisi gas yang menyebabkan pemanasan global. Dengan demikian, mengatasi dampak perubahan iklim memerlukan langkah-langkah konkret dalam mengurangi emisi dari sektor-sektor ini dan mempromosikan sumber energi yang lebih berkelanjutan.
Di sisi lain, meskipun energi terbarukan dianggap sebagai sumber energi yang bersih tanpa emisi gas rumah kaca, kenyataannya menunjukkan bahwa energi terbarukan juga memberikan dampak negatif pada lingkungan. Dampak tersebut mencakup emisi yang dihasilkan ke udara, penggunaan lahan yang dapat memengaruhi ekosistem, penggunaan air, serta dampak terhadap makhluk hidup dan kesehatan masyarakat secara keseluruhan (Achdiansyah, 2017). Oleh karena itu, perlu pendekatan yang bijak dalam mengimplementasikan energi terbarukan untuk meminimalkan dampak negatif dan memastikan keberlanjutan lingkungan.
Cawapres Gibran Rakabuming Raka mengajukan program andalan di sektor energi baru terbarukan (EBT) dengan fokus utama pada peningkatan sumber-sumber bioetanol, yaitu teknik fermentasi biomassa atau bahan organik dari tanaman yang digunakan sebagai sumber energi. Gibran memprioritaskan perluasan sumber-sumber bioetanol, dengan penekanan khusus pada pengembangan bioetanol dari singkong dan tebu. Selain manfaat energi, Gibran juga menyoroti pentingnya kemandirian dalam penyediaan komoditas gula. Upayanya melibatkan transisi energi yang lebih komprehensif, mengikuti langkah-langkah yang telah ditempuh oleh Presiden Joko Widodo.
Dalam upayanya mencapai transisi energi bersih, Gibran memiliki beberapa poin strategis. Pertama, dia ingin memperjuangkan listrik tenaga uap yang adil dan seimbang. Selanjutnya, Gibran mendukung penggunaan bahan bakar nabati untuk transportasi. Poin krusial lainnya adalah konversi batu bara untuk mengurangi polusi serta pengembangan energi sesuai dengan potensi daerah, termasuk energi hijau alternatif seperti air, angin, matahari, gelombang laut, dan panas bumi.
Baca Juga: Mengawal Janji, Mahasiswa Kalbar Minta Prabowo-Gibran Tandatangani Kontrak Politik
Adanya komitmen net zero emission di sektor energi dan transportasi yang dihasilkan dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2023 (COP-28) menjadi acuan bagi Gibran. Meskipun hasilnya belum sepenuhnya mengikat bagi negara peserta, Gibran tetap berkomitmen untuk aktif dan agresif dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Dalam konteks ini, transisi menggunakan bahan bakar bioenergi atau biofuel dan biomassa menjadi salah satu cara untuk mencapai komitmen tersebut. Meskipun bukan kewajiban, upaya ini menjadi langkah signifikan dalam mengurangi gas rumah kaca secara global, sejalan dengan kepentingan mitigasi krisis iklim yang semakin mendesak.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement