Tutupnya beberapa tambang nikel yang ada di beberapa negara di dunia sejalan dengan komitmen internasional dalam transisi energi.
Peneliti Center of Economic and Law Research (Celios) Fiorentina Refani menyebut, penutupan tambang-tambang–utamanya critical minerals–di luar negeri sebenarnya sejalan dengan komitmen internasional untuk transisi energi.
"Ada perubahan tren konsumsi energi," ujar Fiorentina saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Jumat (16/2/2024).
Menurutnya, dalam konteks nikel, konsumen mulai aware dengan kerentanan ekstraksi nikel dan mulai beralih ke opsi lain yang dianggap lebih ramah lingkungan.
Baca Juga: Tak Kuat Bersaing dengan Indonesia, Pabrik Tambang Nikel Ini Putuskan Hentikan Operasi
Merespons tren konsumsi tersebut, tentu produsen harus menyesuaikan yang berakibat terhadap permintaan nikel global cenderung menurun.
"Sayang sekali Indonesia–sebagai sumber bahan mentah nikel terbesar– terlambat merespons tren tersebut," ujarnya.
Fiorentina mengatakan, pemerintah harus melakukan moratorium pembangunan smelter dan mengevaluasi smelter eksisting.
Baca Juga: Jangan Hanya Ributkan Harga Nikel, Dampak Kegiatan Produksi Juga Harus Jadi Perhatian
Dimana, hal yang menjadi tambahan untuk dipertimbangkan adalah dampaknya terhadap lingkungan hidup, mengingat smelter nikel di Indonesia masih mengandalkan PLTU batubara sebagai pemasok listrik utama, dan tentu saja ini akan menyulitkan Indonesia dalam mencapai komitmen iklimnya.
"Di Indonesia sendiri, terjadi over eksploitasi critical minerals, salah satunya nikel. Per akhir 2023 saja ada 116 smelters nikel yang beroperasi dan 25 smelter yang masih dalam tahapan konstruksi. Dengan angka produksi yang begitu besar, 90% di antaranya diekspor ke China, alih-alih diproduksi secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor bahan jadi," ungkapnya
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement