Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

EUDR Goyang, Minyak Sawit Indonesia Tetap Dibutuhkan Eropa

EUDR Goyang, Minyak Sawit Indonesia Tetap Dibutuhkan Eropa Workshop FKPM, Pengusaha dan Masyarakat Eropa Masih Butuh Sawit Indonesia | Kredit Foto: Andi Aliev
Warta Ekonomi, Balikpapan -

Pasar Eropa dipastikan masih membutuhkan minyak kelapa sawit Indonesia meskipun ada aturan dan penolakan dari mereka melalui regulasi Komoditas Bebas Deforestasi Uni Eropa (EU Deforestation Regulation/EUDR). UU tersebut mengatur perdagangan sejumlah produk yang menjadi pemicu berkurangnya kawasan hutan di seluruh dunia, termasuk kelapa sawit.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Mukti Sardjono mengatakan minyak sawit dibutuhkan pasar Eropa untuk mendukung produk unggulan mereka, seperti pembuatan biodiesel, kosmetik, dan pangan. Bahkan, saat musim dingin mereka membutuhkan minyak sawit untuk kebutuhan produksi dalam negara Uni Eropa. Sementara produk minyak nabati seperti minyak kedelai, rapeseed, dan minyak bunga matahari masih terbatas.

Baca Juga: Harga Minyak Sawit Fluktuatif, Pakar Jelaskan Faktornya

Menurut Mukti, aturan EUDR jika diterapkan akan berdampak pada petani sawit. Dalam EUDR, Uni Eropa tidak menerima sawit dari hasil deforestasi setelah 30 Desember 2020.

"Kalau pengusaha besar sejak era Pak SBY mengeluarkan Inpres tidak boleh buka perluasan areal baru. Perusahaan tidak lagi ada yang ekspansi, yang ada kebun rakyat. Jadi jika aturan EUDR diberlakukan, yang kena adalah masyarakat petani," ujar Mukti dalam workshop jurnalistik dengan tema “Tinjauan Tantangan Implementasi Kebijakan FKPM di Kalimantan Timur terhadap Potensi Pengembangan Ekonomi Daerah” di Balikpapan, Kamis (25/7).

Namun Mukti meyakini aturan EUDR mulai ada tekanan dari parlemen Amerika kepada Uni Eropa agar aturan tersebut dibatalkan saja. Sementara di Uni Eropa sendiri, seperti Jerman, tidak menyetujui aturan EUDR.

"Kalau kita lihat peraturan EUDR ini sepertinya dalam kondisi goyang. Kemungkinan akan diundurkan pemberlakuannya," katanya.

Mukti juga mengungkapkan keanehan pada empat bulan terakhir ini, yaitu harga minyak sawit lebih tinggi dari minyak nabati lainnya.

"Kenapa seperti ini? Lagi-lagi masalah supply and demand. Saat ini mungkin lagi sorting sementara minyak nabati lainnya supply tinggi, nah itu akan mempengaruhi," ucapnya.

"Harga itu bergantung pada permintaan dan ketersediaan. Sementara harga minyak sawit lebih rendah daripada minyak rapeseed, minyak kedelai, maupun minyak bunga matahari," tuturnya.

Produk sawit Indonesia sejak puluhan tahun menjajah masuk Eropa dengan ekspor sawit sebanyak 2-3 juta ton per tahun. Namun sejak 2021, mereka melakukan kampanye negatif dan menolak sawit Indonesia dengan slogan sawit tidak sehat dan deforestasi hutan.

"Mereka produksi rapeseed, minyak bunga matahari, dan minyak kedelai. Mereka kan harus melindungi produknya. Tapi kan pengusaha mereka bilang mereka butuh sawit untuk biodiesel," ujarnya.

Selain itu, kebutuhan pangan dan kosmetik juga membutuhkan bahan baku sawit. "Seperti coklat yang kita aman dari produk mereka itu komposisi banyak menggunakan produk minyak sawit," ungkapnya.

Ekspor Sawit Indonesia Terbesar Masih Pasar India dan China

Pada kesempatan yang sama, CEO dan Pemimpin Redaksi Warta Ekonomi Muhammad Ihsan mengatakan kelapa sawit tidak hanya memberikan manfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga sudah menjadi salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Andi Aliev
Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: