Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Agtech dan Blockchain, Bisakah Jadi Solusi Isu Deforestasi Industri Sawit?

Agtech dan Blockchain, Bisakah Jadi Solusi Isu Deforestasi Industri Sawit? Foto udara kendaraan melintas di areal perkebunan sawit milik salah satu perusahaan di Pangkalan Banteng, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Senin (7/11/2022). Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat luas areal lahan perkebunan sawit di Indonesia pada tahun 2022 yaitu mancapai 16,38 juta hektare (ha) yang dimana sebanyak 5 persen atau sekitar 800 ribu ha milik BUMN, 53 persen atau sekitar 8,64 juta ha milik swasta dan 42 persen sekitar 6,94 juta milik rakyat. | Kredit Foto: Antara/Makna Zaezar
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit yang diwarnai beberapa hal seperti kampanye negatif maupun isu-isu deforestasi diyakini akan terlepas melalui solusi teknologi berbasis agtech dan blockchain. Keduanya dinilai memegang peranan penting dalam mendukung keberlanjutan dan memerangi deforestasi.

Sebagai informasi, deforestasi merupakan salah satu masalah lingkungan yang paling mendesak di dunia yang menyebabkan kerugian besar terhadap iklim, keanekaragaman hayati, serta mengancam masyarakat adat.

Baca Juga: Mengurai Sisi Berbeda, Buku 'Masih Berjayakah Sawit Indonesia?' Hadapi Tantangan Dunia

Bahkan, Uni Eropa (UE) telah mengambil langkah signifikan dalam mengatasi deforestasi melalui Peraturan Deforestasi UE atau EUDR yang memberlakukan uji tuntas serta penilaian risiko bagi konsumen dan produsen untuk memastikan produk tersebut tidak berkontribusi pada deforestasi.

Lantas, Apa Dampak dari EUDR terhadap Perkebunan Sawit di Indonesia?

Dampak regulasi tersebut sangat signifikan pada perkebunan sawit rakyat di Indonesia, khususnya karena Indonesia merupakan produsen sawit terbesar di dunia. Akan tetapi, hanya sebagian kecil petani di Indonesia yang telah memenuhi persyaratan sertifikasi berdasarkan peraturan saat ini.

Akibatnya, mayoritas petani kecil di Indonesia menghadapi kesulitan dalam akses pasar UE. Di sisi lain, regulasi EUDR menimbulkan kekhawatiran di kalangan petani kecil di negara-negara Dunia Selatan, termasuk di antaranya adalah Indonesia. Pasalnya, regulasi tersebut dianggap mengabaikan upaya untuk melindungi mata pencaharian mereka.

Kendati demikian, solusi berbasis agtech dan blockchain ini merupakan angin segar yang siap memainkan peran penting dalam mendukung keberlanjutan serta memerangi deforestasi di perkebunan sawit baik dalam skala perkebunan rakyat maupun korporasi besar.

Teknologi seperti blockchain ini dapat digunakan untuk melacak asal-usul bahan baku minyak sawit. Sementara agtech berguna untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan mengurangi dampak lingkungan.

Baca Juga: Cegah Maladministrasi, Ombudsman Awasi Peremajaan Sawit Rakyat

Akan tetapi, perkebunan sawit rakyat kerap menghadapi beberapa kendala dalam memenuhi persyaratan EUDR lantaran skala yang kecil dan keterbatasan sumber daya hingga tidak terjangkau. Oleh sebab itu, diperlukan bantuan teknologi dan pembinaan dari pemerintah serta organisasi non-pemerintah maupun asosiasi terkait untuk membantu petani rakyat memenuhi persyaratan EUDR.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: