- Home
- /
- Kabar Sawit
- /
- Agronomi
Menuju Tahun Baru, Krisis Hak Buruh Masih Warnai Bisnis Perkebunan Sawit
Dianto Arifin dari perwakilan Serikat Pekerja Sawit Indoensia (SEPASI) menjabarkan adanya persoalan serius yang masih membayangi buruh perkebunan sawit di Indonesia. Di antaranya adalah buruknya kondisi kerja, praktik rekrutmen yang rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia, dan sistem pengupahan yang tidak setara.
Menurut Dianto, buruh perkebunan sawit menghadapi dua sistem pengupahan yakni berbasis satuan hasil serta satuan waktu yang sayangnya kedua sistem tersebut kerap tidak memberikan kepastian pendapatan.
Baca Juga: TPOLS Urai Masalah di Balik Sertifikasi Sawit dari Manipulasi Hingga Ketidakadilan bagi Buruh
Dianto menerangkan bahwa kondisi rentan dihadapi oleh buruh perempuan yang terlibat dalam pemupukan atau penyemprotan herbisida. Misalnya, beban kerja berat tanpa standar upah yang jelas. Di sisi lain, yang memengaruhi penghasilan mereka yang jauh di bawah standar kebutuhan hidup layak salah satunya lantaran faktor cuaca dan interval kerja.
Di sisi lain, para buruh juga menghadapi beban ekonomi yang berat karena harus membeli sendiri alat pelindung diri (APD) seperti sarung tangan, apron, dan masker. Bahkan, para buruh juga dibebani dengan pembelian sarana dan prasarana yang angkanya mencapai ratusan ribu rupiah setiap bulannya seperti alat panen dan perlengkapan penyemprotan yang harus mereka tanggung secara pribadi.
“Pekerjaan di perkebunan sawit juga memiliki risiko kecelakaan kerja yang tinggi dan permanen. Misalnya cedera akibat tertimpa buah sawit atau pelepah pohon,” ucap Dianto, dikutip Senin (30/12/2024).
Bahkan, imbuhnya, ada kasus buruh yang mengalami kebutaan lantaran kecelakaan kerja.
Selain itu, buruh perempuan rentan berisiko menghadapi paparan bahan kimia berbahaya tanpa adanya pemeriksaan kesehatan rutin dari perusahaan. Dianto mengatakan bahwa perusahaan seharusnya menyediakan medical check-up dan APD secara gratis bagi para buruh.
“Namun kenyataannya buruh harus menanggung semua biaya tersebut,” kata Dianto.
Pihaknya juga menyoroti praktik rekrutmen buruh secara non-prosedural. Pasalnya, buruh migran dari luar pulau kerap direkrut melalui perantara tanpa perjanjian kerja yang jelas. Sehingga, akibatnya banyak dari buruh tersebut merasa tertipu serta tidak menerima gaji sesuai dengan kesepakatan awal.
Dirinya juga mengaitkan situasi tersebut dengan potensi praktik perdagangan manusia, khususnya ketika perusahaan cuci tangan dari tanggung jawab terhadap pelanggaran yang terjadi.
Oleh sebab itu, Dianto mengatakan jika pihaknya mendesak empat langkah utama dalam memperbaiki kondisi buruh perkebunan sawit.
Pertama, pemberian pelatihan dan sertifikasi bagi buruh khususnya untuk buruh perempuan di bagian pemupukan dan penyemprotan. Langkah kedua yakni perusahaan harus menyediakan pemeriksaan kesehatan rutin untuk mengidentifikasi dampak paparan bahan kimia.
Ketiga, penyediaan APD dan alat kerja secara gratis oleh perusahaan. Terakhir, penguatan pengawasan ketenagakerjaan oleh pemerintah, khususnya melalui dinas ketenagakerjaan di setiap wilayah.
SEPASI pun berharap jika upaya tersebut bisa mendorong perbaikan hubungan kerja dan kondisi kerja di tahun depan.
Baca Juga: Menguak Ketidakadilan Buruh Sawit: TPOLS Desak Reformasi untuk Industri Berkelanjutan
“Kami berharap tahun 2025 menjadi titik balik untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil serta manusiawi bagi buruh perkebunan sawit,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement