Kredit Foto: MIND ID
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengungkapkan kegelisahan terkait kondisi bisnis nikel dalam negeri yang semakin tertekan. Dalam rapat pleno dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada Rabu (22/1/2025), Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, memaparkan sejumlah tantangan besar yang dihadapi para pelaku usaha di sektor tambang nikel.
Salah satu isu utama yang disampaikan adalah perbedaan harga nikel dalam negeri dengan pasar internasional yang menciptakan kerugian signifikan. Menurut Meidy, dari tahun 2000 hingga 2024, negara kehilangan potensi penerimaan hingga USD 6,3 miliar akibat gap harga tersebut.
“Ada gap yang luar biasa, ini mungkin kalau ditunjukin ke Kementerian Keuangan, itu akan nangis. Berapa potensi penerimaan yang lost? USD 6,3 miliar dari tahun 2000 sampai November 2024. Tahun-tahun sebelumnya, berapa banyak ya?” kata Meidy.
Baca Juga: Indonesia Kuasai 63% Produksi Nikel Dunia, Tantangan Overproduksi Mengancam
Ia juga menjelaskan bahwa selisih harga antara pasar domestik dan internasional mencapai 40-50%, bahkan pernah menyentuh lebih dari 60%. Kondisi ini kian membebani pengusaha nikel di tengah tingginya biaya royalti sebesar 10% yang harus dibayarkan ke negara.
Bak jatuh tertimpa tangga, sudah harga terlampau jauh, para pengusaha nikel juga dibebani biaya royalti sebesar 10% ke negara.
Masalah semakin pelik dengan pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% untuk alat berat yang dikategorikan sebagai barang mewah. Kebijakan ini, menurut Meidy, membuat harga alat berat melonjak sehingga menambah beban biaya produksi.
“Sebenarnya ini kami lagi tertimpa gundah-gulana. Kenapa? Di awal tahun kami dibuka dengan PPN 12% yang sangat berdampak kepada pertambangan. Kenapa alat berat itu masuk dalam barang mewah? Akhirnya, harga alat berat itu sudah naik,” jelasnya.
Belum selesai dengan PPN, para pengusaha nikel juga dihadapkan pada rencana perubahan aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA). Jika sebelumnya 30% DHE mengendap selama tiga bulan, aturan baru mengharuskan 100% dana disimpan selama setahun.
Baca Juga: Bahlil Ungkap Alasan di Balik Penolakan Sebagian RKAB Nikel
Kondisi ini semakin memperburuk situasi. Beberapa perusahaan bahkan memilih untuk tidak menjalankan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) mereka karena khawatir biaya produksi yang tinggi tidak sebanding dengan penyerapan pasar.
“Beberapa tambang yang dapat RKAB gak mau produksi. Kenapa? Karena kos produksi naik, tapi penjualannya makin turun. Smelter-smelter juga sekarang sudah ada yang gak menerima kadar nikel 1,8. Unsur silika-magnesiumnya rasionya itu banyak yang gak compatible. Jadi gak semua tambang nikel itu bisa dimakan oleh smelter,” ungkap Meidy.
Sebagai asosiasi yang mewakili para pelaku usaha tambang nikel, Meidy berharap pemerintah dapat meninjau ulang berbagai regulasi yang dianggap membebani. Ia juga meminta agar langkah-langkah konkret segera diambil untuk menyelamatkan sektor tambang nikel dari tekanan yang semakin besar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement