Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Komdigi Gelar Diskusi Perlindungan Anak di Ruang Digital Bersama KPAI hingga UNICEF, Ini Hasilnya

Komdigi Gelar Diskusi Perlindungan Anak di Ruang Digital Bersama KPAI hingga UNICEF, Ini Hasilnya Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menggelar Focus Group Discussion (FGD) lanjutan bersama berbagai pemangku kepentingan terkait perlindungan anak di ruang digital.

Diskusi yang dilakukan bersama KPAI, HIMPSI, Save the Children, UNICEF, ID-COP, LPAI, serta akademisi dan praktisi tersebut mendalami aturan usia dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Tata Kelola Pelindungan Anak dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik (RPP TKPAPSE), dengan fokus pada perlindungan anak dari risiko digital yang semakin kompleks.

Baca Juga: CyberSecure 2025, Kolaborasi Pemerintah dan Swasta Hadapi Ancaman Siber dan Dorong Ekonomi Digital

Staf Ahli Menteri bidang Komunikasi dan Media Massa, Molly Prabawaty, menegaskan bahwa regulasi yang disusun harus lebih dari sekadar aturan teknis, tetapi juga mencegah dampak negatif digital terhadap anak. 

“Kita tidak bisa hanya mengatur akses tanpa memastikan literasi digital yang memadai. Regulasi ini harus melindungi anak dari kecanduan teknologi dan konten negatif, sambil tetap mendorong pemanfaatan ruang digital yang sehat dan bertanggung jawab,” ujarnya, dikutip dari siaran pers Komdigi, Senin (17/2).

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah, menambahkan bahwa pengawasan terhadap regulasi ini harus dilakukan secara kolaboratif. 

“Langkah Komdigi ini sangat kami dukung, tapi keberhasilannya bergantung pada pengawasan yang ketat. Kepolisian, KPAI, dan berbagai pihak harus berperan aktif dalam menangani risiko yang muncul di ruang digital bagi anak-anak,” jelasnya.  

Dalam diskusi, Pakar Pendidikan Itje Chodijah mengingatkan bahwa kebijakan perlindungan anak tidak bisa sekadar meniru regulasi negara lain. 

“Kita bisa belajar dari UK, Australia, dan Jerman, tapi tetap harus mempertimbangkan kondisi sosial dan budaya Indonesia. Banyaknya kasus eksploitasi seksual pada remaja awal dan anak penyandang disabilitas di Indonesia menunjukkan bahwa kita perlu intervensi negara yang lebih kuat,” ungkapnya.  

Ketua Umum PP Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), Andik Matulessy, menggarisbawahi bahwa tidak semua fitur digital cocok untuk anak-anak. 

“Harus ada pembatasan ketat terhadap konten yang berisiko, seperti self-harm, kekerasan, gangguan makan, cyberbullying, hingga radikalisme dan terorisme. Sebaliknya, kita harus mendorong fitur-fitur ramah anak yang mendukung pembelajaran, memperkuat nasionalisme, dan mendorong aktivitas positif seperti olahraga dan eksplorasi budaya,” katanya.  

Sementara itu, Komisioner KPAI, Kawiyan, menekankan pentingnya kontrol identitas di dunia digital. “Penggunaan nama akun sesuai KTP dapat menjadi bentuk pertanggungjawaban anak atas aktivitasnya di media sosial. Dengan identitas yang jelas, mereka akan berpikir dua kali sebelum terlibat dalam cyberbullying atau menyebarkan konten negatif,” tegasnya.  

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Editor: Ulya Hajar Dzakiah Yahya

Advertisement

Bagikan Artikel: