
Perhimpunan Petani Kelapa Indonesia (Perpekindo) menolak tegas usulan moratorium ekspor kelapa yang sedang dibahas oleh pemerintah. Penolakan tersebut disampaikan rapat dengan Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan di Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan.
Ketua Umum Perpekindo, Muhaemin Tallo, mengatakan bahwa kebijakan moratorium tersebut berdampak langsung pada harga kelapa di tingkat petani. Pasalnya, apabila ekspor dihentikan, maka harga kelapa diperkirakan bakal anjlok sehingga merugikan petani yang menggantungkan hidupnya dari komoditas ini.
Dalam rapat yang dipimpin oleh Farid Amir, Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan, pemerintah membahas kemungkinan penetapan Harga Referensi (HR) dan Harga Patokan Ekspor (HPE) untuk kelapa. Hal ini berkaitan dengan keluarnya Perpres 132/2024 tentang Pengelolaan Dana Perkebunan serta usulan mitigasi kelangkaan kelapa bulat di dalam negeri.
Baca Juga: Krisis Bahan Baku, Kemenperin Usulkan Moratorium Ekspor Kelapa Bulat
Nantinya, kelapa bulat bakal dikenakan Pajak Ekspor (PE) sehingga Muhaemin menilai jika perlu regulasi yang jelas mengenai harga dasar. Maka dari itu, pihaknya menekankan bahwa jika moratorium tetap diberlakukan selama enam bulan, maka pemerintah harus menetapkan harga dasar kelapa minimal Rp5.000/kg di tingkat petani. Selain itu, pemerintah dan industri wajib menjamin bahwa seluruh produksi petani terserap, meskipun terjadi surplus.
"Kami tidak ingin petani dirugikan. Jika pemerintah tetap menjalankan moratorium, maka harus ada jaminan harga dan penyerapan hasil panen oleh industri," ujar Muhaemin, dalam keterangan yang dikutip Kamis, (27/3/2025).
Perpekindo, sebagai tawaran solusi, mendukung pembentukan bursa kelapa yang nantinya bisa menjadi acuan dalam menetapkan harga yang lebih stabil dan menguntungkan bagi petani. Nantinya, bursa tersebut akan membantu petani mendapatkan harga yang lebih adil, sebagaimana mekanisme yang diterapkan pada harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit yang mengacu pada harga CPO.
Senada, pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) mengaku sanggup dan siap untuk mendukung pengembangan dan pemeliharaan kebun kelapa petani. Dukungan ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan menjaga kesejahteraan petani di tengah dinamika pasar.
Baca Juga: Barantin Dorong Hilirisasi, Ekspor Produk Turunan Kelapa Indonesia Makin Luas
Selain mengacu pada harga Crude Coconut Oil (CNO) di Bursa Rotterdam, pemerintah juga mempertimbangkan sistem resi gudang sebagai alternatif stabilisasi harga.
Lebih lanjut, Muhaemin menegaskan bahwa industri harus terlibat dalam kemitraan dengan petani, termasuk melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) untuk mendukung pendidikan anak-anak petani.
"Kemitraan ini harus nyata, tidak hanya di atas kertas. Industri harus membina petani dan ikut bertanggung jawab atas keberlanjutan sektor kelapa di Indonesia," tegas Muhaemin.
Dengan berbagai dinamika yang ada, pihaknya berharap kebijakan yang diambil pemerintah benar-benar mempertimbangkan kepentingan petani, bukan hanya industri dan pasar global.
Baca Juga: Perkebunan Sawit di Lahan Gambut Merupakan Bagian dari Restorasi Lahan Gambut yang Berkelanjutan
Baca Juga: Kombinasi Limbah Cair Sawit dan Alga Dapat Menghasilkan Biofuel Generasi Ketiga
"Kelapa adalah sumber penghidupan jutaan petani di Indonesia. Jangan sampai kebijakan yang diambil justru memperburuk kondisi mereka," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri
Advertisement