
Pemerintah Indonesia menyiapkan strategi balasan non-retaliasi sebagai respon kebijakan tarif baru Amerika Serikat (AS) terhadap produk ekspor RI. Salah satu langkah utama yang dipertimbangkan adalah meningkatkan impor barang strategis dari AS, mulai dari gandum, kapas hingga produk migas.
Langkah ini dipandang sebagai upaya memperkecil defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat, sekaligus menjadi kartu tawar dalam proses negosiasi dengan pemerintah AS agar tarif balasan bisa dilonggarkan.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa saat ini Indonesia tengah menyusun proposal konkret yang akan diajukan kepada United States Trade Representative (USTR). Salah satu poin utama dalam proposal tersebut adalah peningkatan volume impor produk strategis dari AS.
Baca Juga: Prabowo Siap Hadapi Tarif Trump: Kita Akan Berunding dengan Amerika
"Tentu kita meningkatkan jumlah volume beli sehingga trade deficit yang US$18 miliar itu bisa dikurangkan ya," ujar Airlangga, Jakarta Senin (7/4/2025).
Produk yang tengah dikaji untuk ditambah impornya antara lain gandum, kapas (cotton), serta produk energi seperti minyak dan gas. Selain itu, beberapa proyek strategis nasional yang sedang berjalan—seperti pembangunan kilang minyak—diproyeksikan akan menggunakan komponen dari AS.
"Indonesia sendiri dalam proyek strategis nasional akan membangun beberapa proyek termasuk refinery nah mungkin salah satu komponennya kita beli dari Amerika jadi itulah beberapa hal yang ingin kami sampaikan," tambahnya.
Kebijakan ini diambil setelah Presiden AS Donald Trump kembali menerapkan kebijakan tarif tinggi terhadap sejumlah produk dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Mulai 5 April, produk ekspor RI dikenakan tarif 10%, dan akan meningkat menjadi 32% pada 9 April mendatang.
Baca Juga: Indonesia Ogah Balas Tarif Trump, Pilih Negosiasi Demi Ekonomi!
Airlangga menegaskan bahwa dibandingkan negara-negara tetangga di ASEAN, posisi Indonesia masih cukup kompetitif, namun tetap perlu antisipasi. Produk foot and apparel menjadi sektor yang paling terdampak dari kebijakan baru ini.
Meski tekanan tarif meningkat, Indonesia tidak memilih jalur retaliasi. Pemerintah pun bersama negara-negara ASEAN dijadwalkan akan bertemu pada 10 April mendatang untuk mengusulkan langkah tersebut termasuk mengkalibrasi sikap masing-masing beberapa anggota.
Baca Juga: Pengurangan Kemiskinan oleh Minyak Sawit Melalui Tiga Jalur Kontribusi
Baca Juga: Industri Sawit Jadi Bagian Strategis Ketahanan Pangan
"Jadi ASEAN tidak mengambil angka retaliasi tetapi Indonesia dan Malaysia akan mendorong yang namanya Trade and Investment Framework Agreement TIFA karena kita TIFA sendiri secara bilateral ditandatangan di tahun 96 dan banyak isunya sudah tidak relevan lagi sehingga kita akan mendorong berbagai kebijakan itu masuk dalam TIFA," tutup Airlangga.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement