Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

RI Optimis Hadapi Ketidakpastian Global Berbekal Fundamental Perekonomian yang Kuat

RI Optimis Hadapi Ketidakpastian Global Berbekal Fundamental Perekonomian yang Kuat Kredit Foto: Youtube BPMI Setpres
Warta Ekonomi, Jakarta -

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan fundamental perekonomian nasional yang tetap kokoh dan terbukti tangguh mampu menjadi bekal optimisme dalam menghadapi ketidakpastian global saat ini. 

Hal ini disampaikannya dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia, Selasa (8/04/2025).

Baca Juga: Perintahkan Jajaran Hapus Pertek, Presiden Prabowo: Pertek Harus Seizin Presiden

Airlangga mengatakan tingkat pertumbuhan ekonomi yang stabil pada level 5% (yoy), posisi fiskal yang sehat dengan defisit anggaran dan rasio utang negara yang rendah, inflasi yang terkendali pada Maret 2025 sebesar 1,03% (yoy), Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) Februari 2025 pada level optimis sebesar 126,4, PMI Manufaktur Maret 2025 yang berada di zona ekspansif sebesar 52,4 menjadi wujud resiliensi perekonomian nasional.

Selain berbagai capaian tersebut, peringkat daya saing Indonesia pada tahun 2024 juga mampu menduduki peringkat ke-27 dari 67 Negara (World Competitiveness Ranking 2024) yang diukur dari faktor Kinerja Ekonomi, Efisiensi Pemerintah, dan Efisiensi Bisnis. 

Di samping itu, Sovereign Credit Rating (SCR) Indonesia berada satu tingkat di atas Investment Grade. Menurut Moody’s, ketahanan ekonomi Indonesia tetap terjaga berkat permintaan domestik yang kuat dan komitmen Pemerintah dalam menjaga kredibilitas kebijakan moneter dan fiskal.

“Tadi sudah saya sampaikan bahwa DPK kita di atas 5% dan penyaluran kreditnya di atas 10,42%. Kemudian likuiditas perbankan terjaga, loan to deficit ratio-nya sudah juga di angka baik 88,92% dan juga kita lihat capital adequacy ratio-nya 27%. Sehingga sebetulnya perbankan kita solid dalam periode saat sekarang,” ungkapnya, dikutip dari siaran pers Kemenko Perekonomian, Rabu (9/4).

Lebih lanjut, Menko Airlangga menambahkan bahwa risiko ketidakpastian ekonomi global di tahun 2025 cenderung tinggi dan berasal dari instabilitas geopolitik, proteksionisme negara maju yang memengaruhi rantai pasok dan perdagangan global, serta pengetatan kebijakan moneter untuk mengatasi inflasi yang masih tinggi. 

Kondisi tersebut juga kian diwarnai dengan kebijakan Tarif Resiprokal yang dikeluarkan Amerika Serikat.

Pasca penyampaian kebijakan tarif resiprokal tersebut, sejumlah dampak timbul mulai dari gejolak pasar keuangan ekonomi global yang ditandai fluktuasi bursa saham dunia dan pelemahan mata uang emerging markets, terganggunya perdagangan dunia yang ditandai dengan terganggunya rantai pasok global dan penurunan volume perdagangan dunia sehingga menekan harga komoditas global seperti Crued Oil dan Brent, serta perlambatan ekonomi kawasan dan dunia yang ditandai dengan penurunan konsumsi global dan penundaan investasi perusahaan.

Sebagai bentuk respons atas kebijakan tersebut, sejumlah negara telah memutuskan mengambil sejumlah strategi seperti Tiongkok yang menetapkan Tarif Balasan (Retaliasi) sebesar 34%, Vietnam yang meminta penundaan penerapan tarif dan melakukan negosiasi, Uni Eropa yang menyiapkan tindakan balasan ddan membuka peluang diplomasi, Thailand yang akan melakukan negosiasi serta mempertimbangkan diversifikasi pasar, hingga India dan Malaysia yang juga akan menempuh jalur diplomatik.

Pemerintah Indonesia sendiri telah memutuskan untuk berbagai langkah strategis diantaranya melalui jalur negosiasi dengan mempertimbangkan AS sebagai mitra strategis. Salah satu jalur negosiasi tersebut yakni melalui revitalisasi Perjanjian Kerjasama Perdagangan dan Investasi (TIFA). 

Pemerintah juga akan melakukan Deregulasi Non-Tariff Measures (NTMs) melalui Relaksasi TKDN sektor ICT  dari AS (GE, Apple, Oracle, dan Microsoft), serta Evaluasi Lartas (Import License), hingga Percepatan Halal.

Di samping itu, Pemerintah juga akan melakukan balancing terhadap Neraca Perdagangan dengan AS melalui pembelian produk agriculture dari AS seperti Soya Bean, pembelian peralatan engineering, pembelian LPG, LNG, dan Migas oleh Pertamina. 

Langkah selanjutnya, Pemerintah juga menyiapkan Insentif Fiskal atau Non-Fiskal, untuk mendorong impor dari AS dan menjaga daya saing ekspor ke AS. Sebelumnya, Pemerintah juga telah melakukan negosiasi melalui pertemuan antara KBRI dengan USTR dan melakukan sosialisasi dan menjaring masukan masyarakat dengan melibatkan asosiasi pelaku usaha.

Lebih lanjut, Menko Airlangga menjelaskan bahwa beberapa produk ekspor unggulan Indonesia seperti apparels dan footwear memiliki berpeluang besar melakukan penetrasi pasar, karena memiliki tarif lebih rendah dari beberapa negara peers seperti Vietnam (46%), Banglades (37%), dan Kamboja (49%). 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Editor: Ulya Hajar Dzakiah Yahya

Advertisement

Bagikan Artikel: