Kredit Foto: Kemenperin
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita meminta industri dalam negeri untuk lebih efisien dalam penggunaan energi, yang selain sebagai sumber energy produksi, tetapi juga merupakan bahan baku dalam proses produksi.
Efisiensi tersebut selain untuk memitigasi risiko dampak perang Iran-Israel pada industri, terutama ketergantungan industri dalam negeri pada energi impor sebagai bahan baku maupun komponen input produksi, juga untuk meningkatkan daya saing industri.
Baca Juga: Kemenhub Pastikan Bandara Tetap Beroperasi, Meski Gunung Marapi Menyembur
“Karena itu, industri dalam negeri diminta lebih efisien dalam penggunaan energi dalam proses produksi. Penggunaan energi lebih efisien dari berbagai sumber dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing produk industri. Hal ini juga sekaligus mendukung kedaulatan energi nasional sebagaimana telah dicanangkan oleh Presiden Prabowo,” tegas Menperin, dikutip dari siaran pers Kemenperin, Jumat (20/6).
Diketahui, dampak langsung konflik Iran-Israel paling terlihat di pasar energi, di mana peran Timur Tengah sebagai penghasil minyak utama—yang menyumbang hampir 30% produksi global—membuat pasar waspada. Gangguan pada produksi energi Iran yang produksinya mencapai 3,2 juta barel per hari akan memicu gangguan pasokan sekaligus memicu fluktuasi harga energi dipasar internasional. Harga minyak Brent telah berfluktuasi antara $73 hingga $92 per barel paska perang Iran-Israel, dengan analis memperingatkan potensi kenaikan 15-20% pada 2025. Volatillitas harga energi dunia ini juga semakin tinggi seiring dengan munculnya ancaman penutupan selat Hormuz yang telah menjadi urat nadi jalur pasokan energi dunia.
Lebih lanjut, Kemenperin pun mendorong pelaku industri untuk tidak hanya menggunakan energi secara efisien, tetapi juga mendiversifikasi sumber energi yang digunakan dalam produksi. Hal ini menjadi krusial mengingat ketergantungan pada energi fosil impor, terutama yang berasal dari kawasan Timur Tengah, semakin berisiko di tengah konflik geopolitik yang berkepanjangan.
“Industri nasional harus mulai mengandalkan sumber energi domestik, termasuk energi baru dan terbarukan seperti bioenergi, panas bumi, serta memanfaatkan limbah industri sebagai bahan bakar alternatif,” tambah Agus.
Bahkan, Kemenperin terus mendorong agar sektor manufaktur dapat menghasilkan produk-produk yang mendukung program ketahanan energi nasional, seperti mesin pembangkit, infrastruktur energi, dan komponen pendukung energi terbarukan.
Di sektor pangan, Agus juga menyoroti urgensi hilirisasi produk agro sebagai respons strategis terhadap dampak tidak langsung perang Iran–Israel terhadap ekonomi global. Konflik tersebut telah menyebabkan lonjakan biaya logistik internasional, mendorong inflasi global, dan memicu gejolak nilai tukar dolar AS terhadap mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Ketiga faktor ini — logistik, inflasi, dan nilai tukar — secara langsung meningkatkan harga bahan baku dan produk pangan impor. Maka jawabannya adalah hilirisasi produk pangan dalam negeri. Industri kita harus mengambil peran dalam memproses hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan kehutanan domestik agar tidak terus bergantung pada bahan baku pangan impor,” jelas Menperin.
Agus menegaskan, industri manufaktur nasional tidak hanya akan difokuskan hilirisasi sektor agro untuk menghasilkan produk pangan, tetapi juga diarahkan untuk berperan aktif berinovasi menemukan teknologi produksi pangan lebih efisien sehingga menciptakan nilai tambah lebih tinggi didalam negeri. Hilirasi produk agro guna mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan juga menjadi program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan industri manufaktur harus berkontribusi untuk mencapai tujuan tersebut.
Menperin juga menghimbau industri dalam negeri untuk memanfaatkan fasilitas LCS (Local Currency Settlement) menghadapi inflasi dalam input produksi. Industri dapat memanfaatkan fasilitas BI (Bank Indonesia) tersebut guna mengantisipasi dampak perang Iran-Israel terhadap gejolak nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama pada negara-negara yang telah menandatatangi LCS dengan Indonesia.
Rantai pasok global
Krisis ini juga memperlihatkan kerentanan terhadap rantai pasok global, terutama bagi industri manufaktur Indonesia. Rute perdagangan maritim kritis—termasuk Selat Hormuz, yang menangani 30% pengiriman minyak global, dan Terusan Suez, jalur bagi 10% perdagangan dunia—berisiko mengalami gangguan. Serangan baru-baru ini terhadap kapal komersial telah memaksa pengalihan rute melalui Tanjung Harapan di Afrika, menambah waktu pengiriman Asia-Eropa sebanyak 10-15 hari dan meningkatkan biaya kontainer sebesar 150-200%.
Gangguan tersebut berdampak pada sejumlah sektor industri di Indonesia. Contohnya sektor otomotif dan elektronik, yang bergantung pada komponen impor untuk 65% produksinya, menghadapi kelangkaan semikonduktor dengan waktu tunggu hingga 26 minggu—berpotensi menimbulkan kerugian ekspor sebesar $500 juta.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Editor: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Tag Terkait:
Advertisement