
Selama lebih dari dua dekade pascareformasi, jumlah satuan tugas (satgas) yang dibentuk pemerintah melalui Keputusan Presiden (Keppres) dan Peraturan Presiden (Perpres) terus bertambah. Namun, efektivitas lembaga ad hoc ini masih dipertanyakan.
Terbaru pemerintahan Presiden Prabowo Subianto membentuk Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) melalui Perpres Nomor 5 Tahun 2025. Alih-alih menyelesaikan persoalan kehutanan, Satgas PKH justru dianggap menyisakan lebih banyak masalah hukum, sosial, dan tata kelola anggaran.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menekankan pentingnya pengujian menyeluruh atas kinerja Satgas PKH. Menurutnya, indikator paling objektif untuk mengukur efektivitas lembaga ad hoc seperti satgas adalah melalui laporan hasil pemeriksaan (LHP) dari BPK RI.
Baca Juga: Gunung Raja Paksi Dukung Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Kalimantan Timur
"Reformasi 1998 bukan hanya melahirkan demokrasi, tapi juga ledakan lembaga ad hoc bernama satuan tugas. Namun, pertanyaannya sederhana, apakah mereka terbukti bekerja efektif dan akuntabel? Jawaban paling jujur datang dari LHP BPK," ujar Iskandar, Jumat (4/7/2025).
Satgas PKH yang dibentuk berdasarkan Perpres Nomor 5 Tahun 2025 ditugaskan menertibkan kawasan hutan di seluruh Indonesia. Tapi, menurut IAW, pelaksanaannya menyimpan sejumlah masalah yang belum ditangani serius—mulai dari ketiadaan skema ganti rugi yang jelas, kesiapan relokasi yang lemah, hingga penggunaan dana besar yang lebih fokus pada aspek pengamanan.
“Lebih parah lagi, bisa saja BPK beri catatan yang memperingatkan: ‘Risiko konflik horizontal meningkat jika penyelesaian tidak berbasis hukum adat dan musyawarah lokal,’” ujar Iskandar.
Selain minim skema sosial, IAW menyoroti status legal lahan yang telah ditertibkan. Mayoritas lahan itu belum bersertifikat atas nama negara, sehingga berpotensi menimbulkan sengketa hukum berkepanjangan. Menurut Iskandar, risiko tersebut membuka celah ketidakpastian hukum dan bisa menurunkan legitimasi pemerintah dalam kebijakan kehutanan.
Masalah paling krusial adalah definisi kawasan hutan yang masih kabur. Banyak wilayah belum melalui proses formal seperti penunjukan, penetapan, dan pengukuhan. Bahkan, sejumlah lahan yang selama puluhan tahun dikuasai dan digarap rakyat untuk kebun sawit kini tiba-tiba dikategorikan sebagai kawasan hutan oleh negara.
Jika penertiban dijalankan tanpa penyelesaian hukum yang sah dan adil, kata Iskandar, kehadiran Satgas PKH justru berisiko memperbesar ketidakpercayaan publik. Ia menyebut protes yang muncul di berbagai daerah sebagai bentuk penolakan paling masif terhadap lembaga ad hoc dalam sejarah pemerintahan Indonesia.
Baca Juga: Turun Tangan Awasi Tambang di Hutan Raja Ampat, Kementerian Kehutanan Ancam Tempuh Jalur Hukum
Sebagai pembanding, Iskandar mengangkat Satgas Koopssus TNI sebagai contoh satgas yang mampu bekerja secara efektif. Satgas tersebut dibentuk melalui Perpres Nomor 42 Tahun 2019 dengan anggaran besar mencapai Rp3,9 triliun. Namun berkat struktur komando yang tegas dan sistem pertanggungjawaban militer, Koopssus dinilai mampu mencapai efektivitas hingga 90 persen.
“Koopssus menunjukkan bahwa satgas bisa efisien jika punya ukuran, struktur, dan disiplin. Inilah yang absen di banyak satgas sipil, termasuk Satgas PKH,” ujarnya.
Untuk memperbaiki tata kelola Satgas PKH, Iskandar menyarankan Presiden Prabowo segera melakukan revisi terhadap Perpres yang menjadi dasar pembentukannya. Revisi tersebut harus mencakup mekanisme ganti rugi yang adil, pengakuan terhadap hukum adat, dan metode penyelesaian konflik berbasis mediasi. Selain itu, audit ulang sertifikasi lahan oleh BPN dan pelibatan masyarakat adat serta Kementerian Desa PDTT dalam proses relokasi dan pemberdayaan dinilai mendesak dilakukan.
Iskandar menekankan bahwa tidak ada satgas yang seharusnya kebal dari audit dan pengawasan publik.
“Jika penunjukan kawasan hutan belum sah, maka penertiban bisa menjadi pemaksaan. Itu harus dipikirkan dengan seksama oleh presiden,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menilai pemerintahan Prabowo memiliki peluang besar untuk memimpin reformasi sektor kehutanan dengan mengedepankan keadilan sosial dan kepastian hukum yang berpihak pada rakyat.
“Karena kalau satgas tidak diukur dengan audit BPK dan tidak diawasi rakyat, maka yang tersisa hanya kuasa, bukan keadilan,” pungkasnya
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Advertisement