Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Aset Negara Rp17.450 T Diduga Hilang, IAW Sebut Pemerintah Siap Bongkar Skandal Besar

Aset Negara Rp17.450 T Diduga Hilang, IAW Sebut Pemerintah Siap Bongkar Skandal Besar Kredit Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Warta Ekonomi, Bandung -

Isu pengelolaan aset negara kembali menjadi sorotan menyusul dua pernyataan penting dari Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang saling melengkapi, namun menyimpan tanda tanya besar.

Di balik klaim peningkatan kekayaan negara, tersimpan sinyal kuat bahwa pemerintah tengah menyiapkan langkah korektif terhadap hilangnya aset negara yang nilainya ditaksir mencapai Rp17.450 triliun.

Dalam Sidang Kabinet 6 Mei 2025, Presiden Prabowo secara terang-terangan menyatakan bahwa banyak aset negara tidak tercatat dan menyebut adanya indikasi birokrat yang sengaja menyembunyikan aset-aset tersebut. Di sisi lain, Sri Mulyani pada Juni 2025 melaporkan bahwa kekayaan negara telah meningkat menjadi Rp13.692 triliun melalui optimalisasi sumber daya alam dan aset BUMN.

Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menilai bahwa dua pernyataan itu, jika dibaca secara utuh, mencerminkan adanya sinergi antara kebijakan fiskal dan arah politik untuk membuka kontradiksi lama dalam pencatatan dan pengelolaan kekayaan negara.

“Kedua pernyataan itu sepintas terlihat hanya terkait optimisme, namun sesungguhnya jika dikaji bersama, kedua hal tersebut nyata-nyata untuk membongkar sebuah kontradiksi fiskal secara besar-besaran,” ujar Iskandar, Rabu, (16/7/2025). 

Investigasi IAW mengungkap temuan mengejutkan: sekitar 1.190 hektare lahan strategis yang dibeli negara pada masa Presiden Soekarno, khususnya untuk mendukung Asian Games 1962, kini tidak lagi tercatat sebagai milik negara. Wilayah yang dimaksud mencakup Senayan, Gelora Bung Karno (GBK), SCBD, Halim, Menteng, Tebet, Cawang, dan Kemayoran.

Iskandar menjelaskan bahwa pembelian tanah-tanah tersebut dilakukan secara sah dengan menggunakan dana APBN melalui Bank Sukapura (yang kemudian menjadi Bank DKI) dan lembaga KUPAG. Namun, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2022–2023 dan pengecekan langsung IAW di lapangan menyebut hanya 18 persen dari tanah tersebut yang masih tercatat sebagai Barang Milik Negara (BMN).

Sementara itu, sisanya telah berganti kepemilikan ke pihak swasta dan digunakan untuk pembangunan apartemen, gedung perkantoran, hotel, hingga kawasan bisnis elit tanpa proses hukum yang jelas dalam pelepasan aset negara.

“GBK dan SCBD kini menjadi lokasi premium yang justru menghasilkan ratusan miliar hingga triliunan rupiah, namun tidak tercatat sebagai bagian dari kekayaan negara. Ini adalah penggelapan struktural yang sangat merugikan keuangan negara,” tegas Iskandar.

Dia menambahkan bahwa temuan IAW sejalan dengan audit BPK yang mengidentifikasi ribuan hektare tanah negara tidak tercatat. Namun, di sisi lain, Menteri Keuangan mengklaim kenaikan kekayaan negara sebesar Rp1.000 triliun karena optimalisasi aset yang ada.

Baca Juga: IAW Dukung Presiden Prabowo Buka Kasus Aset Negara Hilang Senilai Rp17.450 Triliun

“Ironisnya, nilai kerugian akibat hilangnya aset strategis tersebut justru mencapai Rp17.450 triliun, jauh melampaui kenaikan KN yang dibanggakan. Tentu hal itu sudah diperhitungkan dengan matang Presiden dan Menkeu,” ujarnya.

Iskandar menilai kondisi ini menandakan adanya kebutuhan mendesak untuk dilakukannya audit forensik nasional secara menyeluruh, sebagai bentuk penegakan integritas fiskal dan pengamanan aset bangsa.

“Apalagi, nilai tanah di kawasan SCBD saja sudah mencapai Rp1.200 triliun, dan sewa tahunan GBK–Sudirman diperkirakan mencapai Rp2 triliun per tahun, namun tidak masuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),” lanjutnya.

IAW juga membeberkan tiga pola umum yang digunakan dalam modus penggelapan aset negara. Pertama, melalui pemalsuan dokumen kepemilikan dengan menerbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) tanpa peta dasar resmi negara. Ia mencontohkan kasus HGB Plaza Senayan yang diterbitkan tahun 1983 tanpa mencantumkan peta dasar tahun 1959–1962.

Modus kedua dilakukan melalui kelalaian administratif oleh instansi pemerintah, seperti Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang disebut tidak mencatat 100 hektare tanah GBK dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).

Modus ketiga adalah pemberian “fee” oleh pengembang properti kepada oknum birokrat sebesar 3 hingga 5 persen dari nilai proyek guna memperoleh HGB atau izin penggunaan lahan tanpa melalui proses hukum yang sah.

Sebagai langkah konkret, IAW mengusulkan lima kebijakan yang perlu segera diambil oleh pemerintah. Pertama, Presiden diminta mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Audit Nasional Aset Strategis Warisan Sejarah, yang berfokus pada tanah-tanah hasil pembelian negara di periode 1959–1965 di kawasan strategis seperti Senayan, Kemayoran, Halim, dan Menteng.

Kedua, pembekuan sementara seluruh HGB yang berada di atas lahan eks-APBN sampai status kepemilikannya diverifikasi secara hukum dan administratif. Ketiga, pembentukan Satgas Nasional Pemulihan Aset Sejarah (SANPAS), yang terdiri dari institusi-institusi utama seperti BPK, KPK, Kejaksaan Agung, BPN, Arsip Nasional, BIN, dan Kementerian Keuangan. Satgas ini akan diberi wewenang penuh untuk melakukan audit aset, membuka rekening tersembunyi, serta menyita aset jika ditemukan indikasi pelanggaran hukum.

Keempat, IAW mendesak dilakukannya audit ulang terhadap seluruh transaksi keuangan yang dilakukan oleh Bank Sukapura dan KUPAG, yang kala itu menjadi lembaga resmi penyalur dana pembelian lahan negara. Terakhir, IAW meminta pemerintah memulihkan status Yayasan Gelora Bung Karno (YGORBK) agar kembali menjadi institusi negara, sebagaimana tertuang dalam Keppres No. 318/1962, bukan sekadar yayasan komersial.

Baca Juga: Jaga Ekosistem Pasar Modal, IAW Minta BEI Tangani Pelanggaran Emiten Secara Transparan

Iskandar meyakini, jika Presiden Prabowo memberikan mandat politik dan Sri Mulyani membuka akses penuh terhadap data fiskal, maka penyelamatan aset negara senilai lebih dari Rp17.450 triliun bukanlah hal mustahil.

“Ini bukan sekadar soal audit aset, melainkan juga penegakan kedaulatan fiskal, sejarah, dan moral negara,” tandasnya.

Ia menegaskan bahwa aset negara yang diperoleh dari uang rakyat tak seharusnya hilang begitu saja ke tangan korporasi tanpa pertanggungjawaban hukum. Audit forensik nasional, kata dia, menjadi jawaban atas amanat konstitusi yang menyatakan bahwa uang negara tak boleh lenyap tanpa jejak.

Baca Juga: IAW Sebut Dugaan 1,3 Miliar Data SIM Bocor jadi Ancaman Digital Terbesar di Dalam Negeri

Baca Juga: IAW Kritik Danantara, Dorong Berbenah dan Tunjukkan Aksi Nyata

“Aset negara hilang sama dengan hak rakyat dirampok! Mari kawal bersama. Dukung audit!” pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: