Kredit Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai kebijakan insentif pemerintah memiliki peran krusial dalam mendorong adopsi kendaraan listrik di Indonesia. Koordinator Riset Manajemen Permintaan Energi IESR, Faris Adnan, mengatakan pada 2024 sebanyak 84 persen motor listrik dan 96 persen mobil listrik dibeli melalui skema insentif.
“Sangat penting ya, baik di segmen roda dua maupun roda empat. Berdasarkan data yang kami punya, pada tahun 2024, 84% motor listrik dibeli menggunakan insentif, dan 96% mobil listrik dibeli menggunakan insentif juga. Insentif yang dimaksud di sini berupa potongan Rp7 juta untuk motor listrik maupun potongan PPN atau biaya impor untuk mobil listrik,” ujar Faris saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Kamis (4/9/2025).
Faris mengungkapkan, dampak insentif terlihat jelas saat subsidi pembelian motor listrik dihentikan. Pada triwulan I 2025, penjualan motor listrik anjlok hingga 80 persen dibanding periode yang sama pada 2024.
Baca Juga: IESR Soroti Lambatnya Investasi Swasta dalam Pengembangan EBT Tanah Air
“Kita juga dapat melihat dampaknya, saat potongan untuk pembelian motor listrik diberhentikan, penurunan penjualan motor listrik pada Q1 2025 mencapai 80% jika dibandingkan pada periode yang sama di tahun sebelumnya,” paparnya.
Selain insentif, tantangan lain muncul pada pembangunan infrastruktur pengisian daya kendaraan listrik. Menurut Faris, saat ini stasiun pengisian daya masih terkonsentrasi di Jawa dan Bali karena sebagian besar pengguna kendaraan listrik berada di wilayah tersebut.
“Infrastruktur pengisian daya EV dan EV sendiri memang merupakan masalah ayam dan telur. Calon pembeli ragu membeli EV karena sulit mencari infrastruktur, sedangkan investor juga tidak mau investasi di infrastruktur pengisian daya EV kalau tidak banyak EV di jalan raya. Selain itu dalam hal infrastruktur pengisian daya ini, kemampuan dan keandalan dari jaringan listrik juga perlu dipastikan,” jelasnya.
Faris juga menyoroti persoalan keterjangkauan harga. Rata-rata masyarakat menginginkan mobil listrik dengan harga sekitar Rp225 juta. Namun, ia menilai keputusan membeli kendaraan listrik tidak hanya dipengaruhi harga, tetapi juga faktor lain seperti tingkat kepercayaan terhadap teknologi baru.
Baca Juga: PLTU Terbesar Australia Ditunda Pensiun, IESR: Jadi Alarm bagi Transisi Energi Indonesia
Berdasarkan data IESR, menunjukkan kalau rata-rata masyarakat ingin membeli mobil listrik di harga sekitar Rp225 juta. Meskipun begitu, pembelian EV mungkin lebih dipengaruhi dari hal-hal lain misal tingkat kepercayaan masyarakat terhadap teknologi tersebut.
"Karena berdasarkan data yang kami punya, beberapa golongan masyarakat dapat membeli kendaraan yang lebih mahal dibanding rata-rata harga EV saat ini, jadi ketika mereka memutuskan untuk tidak membeli EV mungkin hal-hal lain memengaruhi keputusannya,” katanya.
Di sisi lain, pengembangan transportasi umum dinilai belum menjadi prioritas di sejumlah daerah. Ia menegaskan sinkronisasi kebijakan lintas wilayah dan lembaga mutlak diperlukan untuk mempercepat pengembangan transportasi berkelanjutan.
Baca Juga: IESR Desak Prabowo-Gibran Segera Rancang Strategi Transportasi Rendah Emisi
“Kami melihat pengembangan transportasi umum ini bukan menjadi prioritas utama di beberapa daerah. Selain itu, irisan antarwilayah juga membuat pengembangan infrastruktur transportasi terhambat. Perencanaan yang lebih baik dan sinkronisasi yang baik antar lembaga diperlukan agar masyarakat dapat menikmati kendaraan umum yang lebih baik dan layak,” tutur Faris.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait:
Advertisement