Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Era digital telah menuntut perubahan revolusioner di hampir semua sektor, baik ekonomi, kesehatan, otomotif, hingga pemerintahan. Teknologi hadir sebagai pemercepat, pemudah, bahkan pengganti.
Namun ketika ia masuk ke wilayah pendidikan, banyak pihak tiba-tiba menarik rem. Pendidikan, kata mereka, bukan sekadar transmisi informasi, melainkan formasi karakter. Maka, di era digital tak semua hal bisa diperlakukan seragam dengan bidang lain.
Finlandia, negeri dengan sistem pendidikan terbaik dunia, memberi kita pelajaran penting. Mereka justru menunda digitalisasi ruang kelas secara menyeluruh. Guru tetap menjadi aktor utama. Relasi manusia dianggap jauh lebih menentukan dibanding canggihnya alat.
Belajar dari pengalaman tersebut, Indonesia tidak serta-merta melompat ke revolusi digital. Pemerintah memilih pendekatan yang bertahap dan terjaga. Melalui Inpres No. 7 Tahun 2025, digitalisasi pendidikan diarahkan dengan guardrails yang ketat.
Interactive Flat Panel (IFP) menjadi salah satu instrumen dari strategi itu: bukan sekadar perangkat keras, melainkan medium interaktif yang mengajak murid berdiri, menjawab, berdiskusi, dan membentuk makna bersama.
*Urgensi IFP dalam Digitalisasi Pendidikan*
Badan khusus PBB di bidang pendidikan UNESCO mengingatkan, teknologi dalam pendidikan tak boleh dilepaskan dari etika, inklusivitas, dan keadilan. Dalam dokumen resminya (AI and Education: Guidance for Policy-Makers), mereka menyoroti risiko kesenjangan digital, bias sistem, hingga erosi nilai-nilai pedagogi. Tanpa kerangka yang kuat, digitalisasi bisa jadi proyek indah di atas kertas, tapi gagal menumbuhkan daya belajar sejati.
Pemerintah sadar bahwa transformasi pendidikan tak bisa menunggu. Dampak pandemi membuat kesenjangan belajar kian menganga. Di sinilah teknologi seperti IFP menjadi jembatan untuk memulihkan pembelajaran yang sempat terputus. IFP memungkinkan guru menjelaskan dengan lebih visual, interaktif, dan menarik perhatian murid di berbagai gaya belajar.
Berbeda dari proyektor konvensional, IFP adalah perangkat layar sentuh berukuran besar yang memungkinkan kolaborasi langsung. Guru dan murid bisa menulis bersama di layar, menampilkan video edukatif, atau mengeksplorasi materi lewat simulasi digital. Ini bukan pengganti guru, melainkan alat bantu untuk membuat proses belajar lebih kontekstual dan menyenangkan.
IFP juga menjembatani transisi menuju pembelajaran berbasis proyek. Di era kepemimpinan Abdul Mu’ti, murid didorong untuk aktif, kritis, dan kreatif [Pendekatan Pembelajaran Mendalam]. IFP memfasilitasi diskusi kelompok, presentasi murid, hingga simulasi yang tak mungkin dilakukan dengan papan tulis biasa.
Pemerintah juga menekankan pentingnya pelatihan guru dalam pemanfaatan IFP. Tak hanya penguasaan teknis, tetapi juga pendekatan pedagogis yang relevan. IFP bukan sekadar "alat baru" di ruang kelas, tapi bagian dari perubahan paradigma mengajar. Guru bukan lagi satu-satunya sumber informasi, melainkan fasilitator pembelajaran.
Tak kalah penting, IFP juga membuka akses terhadap konten digital berkualitas. Dengan koneksi internet, sekolah bisa mengakses perpustakaan digital, platform pembelajaran daring, hingga integrasi dengan Learning Management System (LMS). Ini mendukung efisiensi, diferensiasi materi, serta pembelajaran sepanjang hayat.
Namun distribusi IFP tidak bisa dilepaskan dari pemerataan. Pemerintah perlu memastikan bahwa daerah 3T juga memperoleh manfaat yang sama. Maka dari itu, digitalisasi harus dibarengi dengan penguatan infrastruktur dasar, pelatihan, serta dukungan teknis berkelanjutan.
*Ekosistem Pembelajaran Digital*
IFP hanyalah salah satu simpul dari ekosistem digital yang lebih luas. Tanpa integrasi yang menyeluruh, teknologi secanggih apa pun hanya akan jadi pajangan. Maka penting membangun sistem yang saling terhubung: antara perangkat, konten, guru, dan murid.
Langkah pertama adalah memastikan konten digital yang relevan dan kontekstual. Pemerintah melalui Kemendikdasmen telah mendorong pengembangan Buku Teks Digital, modul interaktif, dan video pembelajaran yang selaras dengan kurikulum nasional. Konten ini harus terus diperbarui dan mudah diakses oleh semua jenjang.
Kedua, platform Rumah Pendidikan yang kini tengah dikembangkan Kemendikdasmen perlu dimaksimalkan pemanfaatannya. Platform ini tak sekadar menyediakan akses ke konten digital, tetapi juga membangun ekosistem belajar yang terintegrasi: dari perencanaan pembelajaran, distribusi materi, pemantauan kehadiran, hingga asesmen berbasis data.
Ketiga, penguatan kapasitas guru menjadi kunci. Pelatihan yang bersifat berkelanjutan dan berbasis praktik harus dikembangkan, termasuk komunitas belajar digital antarguru. Teknologi tak akan bermakna jika guru merasa ditinggalkan dalam prosesnya.
Dalam konteks ini, pembelajaran mendalam (deep learning) menjadi orientasi yang tak terelakkan. Alih-alih hanya mengejar ketuntasan kurikulum, pendekatan ini mendorong murid untuk memahami secara mendalam, mengaitkan antar konsep, serta menerapkan pengetahuan dalam situasi baru.
Keempat, peran kepala sekolah dan pengawas sangat penting untuk mendorong adopsi teknologi secara menyeluruh. Mereka harus menjadi agen perubahan, bukan sekadar pelaksana. Penguatan kepemimpinan digital perlu diarusutamakan.
Kelima, kolaborasi lintas sektor perlu diperluas. Dunia usaha, platform edtech, perguruan tinggi, dan masyarakat sipil dapat berperan dalam menyuplai inovasi, pelatihan, maupun dukungan teknis. Digitalisasi adalah ekosistem, bukan kerja individu.
Keenam, integrasi pembelajaran digital harus didasarkan pada bukti ilmiah. Studi OECD (2021) menunjukkan bahwa penggunaan teknologi interaktif dalam pembelajaran dapat meningkatkan retensi dan pemahaman siswa hingga 20 persen dibanding metode konvensional.
Temuan tersebut memperkuat gagasan Benjamin Bloom dari University of Chicago, yang menekankan pentingnya mastery learning dan higher-order thinking. Dengan dukungan teknologi seperti IFP dan Rumah Pendidikan, pendekatan Bloom menjadi lebih mudah diterapkan dalam konteks kelas modern.
Digitalisasi pendidikan bukan soal mengganti papan tulis dengan layar, atau buku dengan aplikasi. Ia adalah lompatan peradaban, yang harus dijalani dengan visi dan kehati-hatian.
Oleh:
Dr. Azmi Al Bahij, S.Pd.,M.Si
Wakil Dekan III FIP UMJ
Dr. Ismah, M.Si
Dosen Prodi PendidikanMatematika, FIP UMJ
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sufri Yuliardi
Tag Terkait:
Advertisement