Kredit Foto: Youtube Setpres
Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto mulai serius memantau pelaksanaan kewajiban plasma sebagai instrumen pemerataan kesejahteraan, bukan semata regulasi administratif.
Selama lebih dari dua dekade, kewajiban perusahaan perkebunan untuk mengalokasikan minimal 20 persen dari areal konsesi sebagai kebun plasma bagi masyarakat sekitar hanya menjadi aturan di atas kertas. Meski sudah diatur dalam Undang-Undang Perkebunan, implementasinya sarat pelanggaran. Kini, melalui berbagai inisiatif hukum dan politik, kewajiban tersebut mulai diposisikan kembali sebagai hak konstitusional rakyat yang tak bisa dinegosiasikan.
Salah satu contoh konkret muncul dari ruang mediasi Pengadilan Negeri Padangsidimpuan, Kamis, 25 September 2025. Warga masyarakat adat Simangambat, Padang Lawas Utara, Sumatera Utara, menuntut hak atas kebun plasma dari perusahaan BUMN pengelola aset negara sitaan, yang saat ini mengelola areal di wilayah mereka. Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) turut menjadi tergugat dalam perkara ini.
Yang membedakan mediasi kali ini bukan hanya keberanian warga membawa tuntutan ke ranah hukum, tetapi juga tawaran solusi konstruktif: dimulai dari kesepakatan tertulis, realisasi bertahap, hingga pengawasan kolaboratif. Respons negara pun berubah dari sikap pasif menjadi terbuka.
"Terlihat presiden mumpuni memonitor sampai ke level tersebut. Satgas PKH mulai membuka diri, mengakui bahwa plasma memang amanat undang-undang, bukan sekadar 'bonus sosial' dari perusahaan. Mereka mulai membuka diri pada usulan mediasi warga tersebut," ujar Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, Jumat (3/10/2025).
Berbagai laporan resmi sebenarnya telah lama menunjukkan betapa buruknya pelaksanaan kebun plasma di Indonesia. Data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) mencatat rata-rata keterlambatan realisasi plasma mencapai 7,8 hingga 10 tahunjauh dari batas maksimal tiga tahun yang diatur undang-undang. Ironisnya, hanya sekitar 12 persen perusahaan yang secara konsisten memenuhi kewajiban tersebut.
Baca Juga: Presiden Prabowo Sematkan Tanda Kehormatan Jelang HUT TNI ke-80
Laporan BPK juga mengungkap bahwa dana kemitraan senilai Rp2,3 triliun kerap disalahgunakan, sekitar 45 persen lahan plasma belum bersertifikat, dan 78 persen program pembinaan teknis berhenti di tengah jalan. Bahkan nama-nama besar korporasi sawit nasional tercatat dalam daftar pelanggaran.
Di sisi lain, medan perlawanan kini juga terbentuk di ranah legislatif. Ketua DPRD Riau, Kaderismanto, mengumumkan bahwa seluruh fraksi mendukung pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Plasma 20 Persen, menyusul banyaknya laporan pelanggaran yang masuk dari masyarakat.
"Sudah terlalu banyak laporan dari warga tentang plasma ini. Pansus adalah komitmen kita membela rakyat," ujarnya.
Pijakan hukum mengenai kewajiban plasma tidak menyisakan ruang abu-abu. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan secara eksplisit mewajibkan alokasi plasma 20 persen (Pasal 58), menetapkan sanksi administratif (Pasal 61), dan ancaman pidana penjara hingga lima tahun serta denda Rp10 miliar (Pasal 107). Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021 dan dua Permentan—Nomor 98 Tahun 2013 serta Nomor 18 Tahun 2021 memperkuat batas waktu dan teknis pelaksanaannya.
"Selama ini aturan itu tegas dan imperatif. Yang kerap hilang hanyalah itikad perusahaan dan ketegasan negara. Untung saat ini tidak sedemikian lagi," tegas Iskandar.
Dalam konteks ini, PT Agrinas Palma Nusantara memang masih menata legal standing sebagai pengelola aset eks-kawasan hutan dan menanti percepatan pelepasan kawasan dari DPR RI. Namun, berbeda dari banyak perusahaan swasta, Agrinas menunjukkan kemauan politik yang berbeda yaitu membuka ruang dialog dan menyatakan kesediaan menjalankan kewajiban plasma.
"Masyarakat menghargai sikap ini. Bagi mereka, meski status hukum Agrinas belum sempurna, setidaknya BUMN tersebut telah menunjukkan komitmen berbeda, yakni mematuhi undang-undang, bukan melawannya," jelasnya.
Sebagai respons atas situasi tersebut, IAW menyampaikan sejumlah rekomendasi struktural antara lain pembukaan database nasional soal kepatuhan perusahaan terhadap plasma, pembentukan Pansus Plasma di seluruh provinsi, pencabutan izin bagi perusahaan yang melanggar, audit forensik atas kerugian negara, serta penguatan kelembagaan koperasi agar mandiri dari kontrol korporasi.
Iskandar menegaskan, inisiatif di Padangsidimpuan dan Riau harus dibaca sebagai permulaan arah baru dalam penegakan keadilan agraria berbasis hukum. Negara tidak boleh lagi berpihak pada korporasi, melainkan pada rakyat sebagai pemilik sah dari hak atas plasma.
Baca Juga: Prabowo Hadiri Sailing Pass Jelang HUT TNI ke-80 di Teluk Jakarta
“Kini, pertanyaan tinggal satu, apakah Padangsidimpuan dan Riau akan menjadi awal babak baru penegakan plasma nasional,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Advertisement