Pertemuan Prabowo dan Abdullah II ibn Al Hussein: Jangan Pernah Lupa akan Teman
Oleh: Teguh Anantawikrama, Founder and Chairman of the Indonesian Tourism Investor Club and Vice Chairman of the Indonesian Chamber of Commerce
Kredit Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
Pesan itu terasa sangat nyata ketika saya melihat Presiden Prabowo Subianto menyambut Raja Abdullah II ibn Al Hussein di Jakarta, 14 November 2025. Keduanya tidak hanya berjalan berdampingan sebagai kepala negara, tetapi memilih duduk satu kendaraan, bahkan Presiden Prabowo sendiri yang mengemudikan buggy/golf cart di lingkungan Istana, agar bisa lebih banyak berbincang dengan sahabat lamanya.
Bagi saya, itu bukan sekadar gestur keramahan. Itu adalah pesan politik luar negeri yang sangat manusiawi: kepemimpinan yang kuat tidak pernah melupakan persahabatan.
Dari Fort Benning ke Amman, Lalu ke Istana
Hubungan pribadi Presiden Prabowo dan Raja Abdullah II bukan relasi yang lahir tiba-tiba ketika keduanya sudah menjadi kepala negara. Keduanya memiliki ikatan panjang sejak masih menjadi perwira militer muda, saat sama-sama mengikuti pendidikan di Fort Benning, Amerika Serikat, sekitar tahun 1995.
Tiga tahun setelah itu, pada masa paling gelap dalam sejarah politik Indonesia modern, Prabowo diberhentikan dari dinas militer dan memilih mengasingkan diri secara sukarela ke Yordania. Dalam situasi yang serba tidak pasti, ia justru disambut dengan kehormatan oleh Raja Hussein, ayah Raja Abdullah II. AP mencatat dengan jelas: Prabowo mencari suaka diri di Yordania pada akhir 1990-an, dan tinggal di Amman selama beberapa tahun sebelum kembali ke Indonesia pada 2008.
Artinya, selama kurang lebih satu dekade fase hidupnya diwarnai oleh tanah Yordania: gurun, bukit, dan kota Amman menjadi ruang renung seorang perwira yang “jatuh” di tanah airnya sendiri, namun menemukan pintu persahabatan yang terbuka lebar di negeri lain.
Tidak mengherankan bila dalam pidatonya di Istana Merdeka, Presiden Prabowo menyebut Yordania dengan nada yang sangat emosional, ia mengatakan selalu mengingat masa-masanya di Yordania dengan penuh rasa cinta, dan mengakui bahwa lebih dari 20 tahun lalu ia diterima dengan hangat oleh mendiang Raja Hussein.
Inilah alasan mengapa ketika hari ini kita melihat dua pemimpin itu duduk di kendaraan yang sama, terasa jelas bahwa mereka bukan sekadar “mitra diplomatik”, tetapi kawan seperjuangan yang berbagi sejarah, kegagalan, kebangkitan, dan visi tentang dunia yang lebih damai.
Baca Juga: Indonesia’s Tourism Policy: Orchestrating Impact Beyond the Numbers
Fondasi 70-an Tahun: Dari Pengakuan hingga Kemitraan Strategis
Hubungan Indonesia-Yordania sendiri bukan hubungan baru. Secara resmi, berbagai dokumen menyebutkan bahwa hubungan diplomatik mulai terjalin pada awal 1950-an, ketika Indonesia yang baru merdeka dan Kerajaan Yordania saling mengakui pentingnya satu sama lain di kawasan masing-masing.
Sejak itu, kedua negara berkembang sebagai dua negara mayoritas Muslim yang moderat, menjunjung tinggi pluralisme, dan kerap mengambil posisi yang mirip dalam isu-isu krusial Timur Tengah, terutama soal Palestina, Suriah, dan perdamaian kawasan.
Hubungan ini awalnya bersifat sangat politis dan simbolik: saling kunjung kepala negara, koordinasi di forum OKI dan Gerakan Non-Blok, serta dukungan moral bagi perjuangan Palestina. Tetapi dalam dua dekade terakhir, hubungan itu mulai bergeser menjadi lebih strategis dan berorientasi kepentingan bersama: energi, pangan, pertahanan, hingga teknologi.
Angka Perdagangan: Dari Simbol ke Substansi
Di tengah narasi persahabatan personal kedua pemimpin, terdapat realitas ekonomi yang tidak boleh kita abaikan.
Beberapa angka penting:
- Tahun 2023, data OEC mencatat ekspor Indonesia ke Yordania sekitar US$1,23 miliar, dengan komoditas utama perhiasan, emas, dan wood charcoal.
- Data COMTRADE yang dirangkum Trading Economics menunjukkan bahwa ekspor Indonesia ke Yordania pada 2024 sekitar US$704,66 juta.
- Sementara itu, pernyataan resmi Duta Besar Indonesia untuk Yordania menyebut bahwa total perdagangan bilateral 2024 mencapai kurang lebih US$921,7 juta.
Perbedaan angka ini adalah hal wajar dalam statistik internasional, perbedaan metodologi (FOB/CIF), waktu pencatatan, dan basis data bisa menghasilkan variasi. Namun satu hal yang terang: skala perdagangan Indonesia-Yordania kini sudah mendekati kisaran satu miliar dolar AS per tahun dan menunjukkan tren peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.
Dari sisi struktur perdagangan, Yordania dikenal sebagai salah satu pemasok utama fosfat bagi industri pupuk Indonesia. Sebaliknya, Indonesia memasok berbagai produk manufaktur, perhiasan, komoditas konsumsi, serta berpotensi memperluas ekspor produk halal, makanan olahan, hingga industri kreatif.
Yang menarik, dalam kunjungan terbaru Raja Abdullah II di Jakarta, pembicaraan kedua pemimpin tidak hanya menyentuh isu Gaza dan kerja sama pertahanan, tetapi juga peluang investasi Yordania di Indonesia melalui Lembaga Pengelola Investasi (sovereign wealth fund) Danantara Indonesia dan perluasan kerja sama sektor swasta.
Ini artinya, persahabatan personal sedang diterjemahkan menjadi arsitektur kerja sama ekonomi yang lebih sistematis.
Pangan, Pupuk, dan Ketahanan Regional
Salah satu babak baru yang sangat penting adalah kerja sama di sektor pangan dan pertanian. Pada 15 April 2025, Indonesia dan Yordania menandatangani MoU kerja sama pertanian dan ketahanan pangan di Amman, mencakup kolaborasi dalam produksi pupuk, teknologi pertanian, dan riset untuk meningkatkan produktivitas.
Yordania memiliki keunggulan pada sumber daya fosfat, sedangkan Indonesia memiliki kebutuhan besar terhadap pupuk untuk menjamin ketahanan pangan 270 juta penduduknya. Kombinasi ini tidak hanya soal “dagang”, tetapi menyangkut ketahanan pangan strategis dua negara, sekaligus membuka jalan bagi proyek investasi bersama di industri pupuk berbasis fosfat dan gas.
Sebagai seseorang yang terlibat dalam isu UMKM dan ketahanan pangan di Indonesia, saya melihat ini sebagai peluang emas:
- Bagi Indonesia, akses lebih stabil terhadap bahan baku pupuk dan kolaborasi teknologi pertanian.
- Bagi Yordania, akses ke pasar raksasa di Asia Tenggara dan basis produksi untuk ekspansi ke kawasan lain.
Jika dirancang dengan serius, kolaborasi ini dapat menjadi pilar ketahanan pangan dunia Muslim, bukan hanya hubungan dagang biasa.
Pertahanan, Gaza, dan Diplomasi Nilai
Di luar ekonomi, hubungan Indonesia–Yordania juga memiliki dimensi moral dan keamanan. Pada kunjungan kenegaraan di Jakarta, kedua pemimpin menegaskan kembali posisi bersama dalam mendukung rakyat Palestina dan mencari solusi damai yang adil bagi Gaza. 
Yordania punya kedalaman sejarah dan tanggung jawab langsung di kawasan itu, sementara Indonesia memiliki legitimasi moral sebagai negara demokrasi besar berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Di sinilah persahabatan pribadi antara Prabowo dan Abdullah II berpotensi memperkuat kerja sama konkret:
- Misi kemanusiaan dan rekonstruksi Gaza,
- Kerja sama intelijen dan keamanan untuk mencegah eskalasi konflik,
- Pelatihan dan kerja sama militer yang berbasis misi perdamaian, bukan agresi.
Ini sangat sejalan dengan karakter Prabowo hari ini yang, terlepas dari semua kontroversi masa lalunya, tengah memosisikan Indonesia sebagai kekuatan penyeimbang (balancing power) di antara berbagai blok besar dunia.
Baca Juga: Indonesia: The Era of Experience Tourism
Pesan Intinya: Kepemimpinan yang Tidak Melupakan Kawan
Satu hal yang selalu saya hormati dari Pak Prabowo adalah bahwa beliau tidak pernah melupakan kawan-kawan yang berjuang bersama, baik dalam konteks pribadi, maupun dalam konteks antarnegara.
Mereka yang bersama berjuang:
- untuk perdamaian dunia,
- untuk rakyat kecil yang menjadi korban perang,
- dan untuk mempertahankan kedaulatan bangsa di tengah persaingan kekuatan besar.
Persahabatan dengan Yordania dan Raja Abdullah II menunjukkan bahwa politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Prabowo bukan hanya kalkulasi dingin kepentingan nasional, tetapi juga dibangun di atas memori, loyalitas, dan rasa terima kasih kepada mereka yang hadir di saat sulit.
Bagi kita di Indonesia, ada beberapa pelajaran penting:
- Dalam politik maupun bisnis, jangan pernah lupa teman yang menemani di masa jatuh.
- Hubungan personal pemimpin bisa, dan seharusnya, diterjemahkan menjadi manfaat konkret bagi rakyat: perdagangan, investasi, lapangan kerja, ketahanan pangan, dan stabilitas kawasan.
- Kedaulatan dan perdamaian bukan hanya soal senjata, tetapi juga soal siapa yang berdiri di sisi kita ketika dunia sedang tidak ramah.
Selama kita memegang pesan sederhana itu, jangan pernah lupa akan teman, saya optimistis hubungan Indonesia-Yordania akan terus tumbuh dari sekadar hubungan diplomatik menjadi kemitraan strategis yang penuh makna, bagi kedua bangsa dan bagi dunia yang mendambakan kedamaian.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement