WE Online, Balikpapan - Aktivis lingkungan yang tergabung dalam Forum Pemerhati Teluk Balikpapan menolak perluasan Kawasan Industri Kariangau (KIK). Dalam RTRW Balikpapan 2015-2032 Kawasan Industri Kariangau akan diperluas dari luasan saat ini yang mencapai 2.189 hektar.
Rencananya, Kawasan Industri Kariangau akan diperluas hingga ke hulu atau Pulau Balang berbatasan dengan PPU dan Kabupaten Kukar.
Kordinator Forum Pemerhati Teluk Balikpapan Husein mengatakan perluasan kawasan tersebut mengancam keberadaan Teluk Balikpapan karena hutan mangrove terus tergerus dan tersisa kini hanya 130 kilometer persegi.
Selain itu, habitat satwa langka dan dilindungi yang ada di Teluk Balikpapan akan semakin terancam populasinya di antaranya monyet hidung panjang atau bekantan, pesut, lumba-lumba tanpa sirip belakang, dan lumba-lumba hidung botol.
"Sebagian kawasan itu sudah beralih menjadi industri. Ini yang menjadi ancaman terbesar, kalau yang kami advokasikan khususnya yang di KIK itu sudah ada 52 perusahaan yang memiliki izin untuk melakukan aktivitas di sana," katanya.
Karena itu, pihaknya menolak perluasan KIK karena akan berdampak pada lingkungan sekitar yang selama ini berimbas pada kualitas Teluk Balikpapan.
"Ini yang menjadi prioritas kami untuk penolakkan perluasan KIK sampai ke hulu Teluk Balikpapan sampai ke Pualau Balang itu pastinya sangat menganggu perairan Teluk Balikpapan," tandasnya.
Selain itu, akibat perluasan Kawasan Industri Kariangau Balikpapan maupun pembukaan Kawasn Indusri Buluminung di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), telah dikeluhkan nelayan. Mereka mengaku telah terjadi menurunnya hasil tangkapan nelayan.
"Laporan yang kami terima ada tiga wilayah yang 80 persen warganya adalah nelayan yakni Pantai Lango, Jenebora dan Gresik di Penajam Paser Utara. Mereka susah mencari tangkapan," tuturnya.
Teluk Balikpapan berada di antara Kota Balikpapan dan Kabupaten Penajam Paser Utara. Dua pulau ini terpisah oleh lautan sepanjang 6-7 km. Kawasan ini termasuk padat lalu lintas khususnya aktifitas angkut batubara, migas, sawit maupun galangan kapal.
Terpisah, Kepala BLH Balikpapan Suryanto tidak menolak adanya dampak negatif dari keberadaan kawasan industri karingau. Namun tetap ada upaya pengendalian dampak negatif yakni melalui amdal.
"Kita tidak meyangkal ada dampak, bohong kalau tidak ada dampak. Nah makanya perlunya amdal untuk eliminir dampak negarif," tandasnya.
Mantan Kepala Bappeda kota ini membantah kabar soal adanya perluasan KIK hingga 6000 hektar padatahun 2030 mendatang.
"KIK itu berdasarkan RTRW 2012-2031 Perda nomor 12 tahun 2012 itu luasanya hingga 2.721. sekarang ini baru 2.189 hektar. Ngak benar kalu sampai 6000 hektar lah luasan daerah itu sampai perbatasan PPU itu hanya 3500 hektar kok. Kalau sampai 6000 hektar itu dariman tanahnya. Coba lihat di RTRW kita yang kawasan industri itu warnanya abu-abu antara Teluk Balikpaapn dan Teluk Wain," sambungnya.
Suryanto mengatakan sulit untuk menolak perluasan KIK karena sudah ada di RTRW. Lahirnya perda RTRW itu sudah melalui BKPRM provinis dan rekomendasi provinsi gubernur serta persetujuan enam menteri.
"Prosesnya panjang sebelum alhirnya perda RTRW nomor 12 punya kota Balikpapan. Kalau kita menolak itu berarti melawan pemerintah. Sulit untuk menolak karena memang sudah banyak kuasai wilayah di KIK walaupun belum banyak yang bergerak (dibangun)," tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Andi Aliev
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement