Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kenapa Kebakaran Hutan Australia Begitu Dahsyat? Begini Penjelasannya

        Kenapa Kebakaran Hutan Australia Begitu Dahsyat? Begini Penjelasannya Kredit Foto: Sindonews
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Saat ini ada cukup banyak titik kebakaran hutan yang masih berkobar di berbagai wilayah Australia. Kebakaran hutan ini bahkan menghasilkan asap yang sangat banyak. Selandia Baru yang berjarak lebih dari 2.000 kilometer turut terkena imbasnya.

        Hingga saat ini ada hampir 15 juta hektare lahan di Australia yang dilalap kobaran api. Luas wilayah ini jauh lebih besar dibandingkan kebakaran hutan hebat yang melanda California pada 2018 lalu.

        "Sebagai perbandingan, mimpi buruk musim 'api' di California 2018 membakar sekitar 2 juta hektar (lahan)," ungkap Recofering Hydrogeologist Scott K Johnson seperti dilansir Ars Technica.

        Baca Juga: Dilanda Kebakaran Parah, Warga Muslim dan Kristen di Australia Berdoa Minta Hujan

        Akibat kebakaran hutan yang masif ini, ada banyak warga yang melarikan diri ke pantai hingga menggunakan perahu demi melindungi diri mereka. Situasi di Victoria dan New South Wales juga sangat berbahaya. Kebakaran hutan yang mengelilingi Sydney juga membuat kota tersebut harus diliputi asap yang menyesakkan.

        Sayangnya, cuaca saat ini masih belum mendukung untuk meredakan kebakaran hutan di Australia. Pada Sabtu khususnya, kondisi kebakaran hutan justru memburuk hingga membuat wilayah Victoria harus mengaktivasi sumber listrik darurat untuk pertamakalinya di tengah proses evakuasi.

        Kasus kebakaran hutan yang ekstrim di Australia ini dipengaruhi oleh setidaknya tiga faktor utama. Ketiga faktor ini adalah cuaca yang panas, kering serta berangin. Akan tetapi, kebakaran hutan juga terjadi akibat kombinasi dari pola cuaca yang memanas dalam jangka pendek dan panjang.

        Baca Juga: Ngeri, Hampir Setengah Miliar Satwa Mati Akibat Kebakaran di Australia

        Pada konteks jangka panjang, tahun lalu Australia mengalami cuaca terpanas dan terkering yang menyebabkan terjadinya kemarau lebih lama. Australia kala itu mencapai suhu udara tertinggi sepanjang sejarah yang dampaknya mendorong evapurasi dan memperkuat kekeringan. Tren hujan pun mengalami penurunan, khususnya di beberapa wilayah.

        Pada 18 Desember, Australia juga memasuki hari terpanas sepanjang sejarah mereka. Kala itu, suhu udara rata-rata di Australia hampir mencapai 42 derajat Celcius.

        Pada jangka pendek, ada dua faktor yang turut berpengaruh yaitu suhu air di bagian barat Samudera Hindia yang lebih hangat dibandingkan rata-rata serta suhu udara yang lebih dingin di bagian timur. Kondisi ini membuat musim hujan semakin jauh dari Australia.

        Tak hanya itu, dalam beberapa bulan terakhir, ada pola tak biasa di stratosfer Antartika yang melemahkan angin yang mengitari kutub. Kondisi ini juga mempengaruhi terciptanya langit yang cerah di Australia dan hembusan angin yang kencang dengan udara yang kering yang memicu terjadinya kebakaran hutan di Victoria dan New South Wales.

        Pada sabtu, front dingin juga meliputih area tenggara Australia dan mencapai area Sydney di malam hari. Sekilas kondisi ini tampak seperti nafas segar.

        Sayangnya front dingin ini datang disertai dengan angin kencang di penghujung hari yang panas di Sydney yang kala itu suhunya mencapai 48,9 derajat Celcius. Tak hanya itu, angin yang semula bertiup ke barat pun berubah arah ke selatan sehingga membuat kebakaran hutan merembet ke arah yang berbeda.

        Kabar baiknya, penyimpangan cuaca Indian Ocean Dipole mulai mengarah kembali normal dalam satu minggu terakhir. Ini mengindikasikan bahwa musim monsoon di Australia akan mulai terjadi di bagian utara negara kangguru tersebut. Artinya, beberapa wilayah di utara Australia akan segera merasakan hujan.

        "Itu mungkin membantu, hingga saat ini belum tampak (perkiraan) akhir dari masalah kebakaran ini di prakiraan cuaca," jelas Scott.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: