Tingginya penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang tidak memenuhi standar Euro menjadi pemicu utama polusi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Sebagai contoh, di Jakarta saat ini tidak kurang dari 13 juta unit sepeda motor dan lebih dari enam juta unit roda empat dimiliki warga Jakarta. Saban hari tidak kurang dari 25 juta perjalanan melintasi kota Jakarta.
Karena itu, polusi di Jakarta dan kota besar lain akan tetap buruk jika mayoritas kendaraan itu masih menggunakan jenis BBM berkualitas rendah, seperti premium atau BBM lain yang kandungan sulfurnya lebih dari 500 ppm. Itu bisa disebut bahwa BBM tersebut tidak ramah lingkungan.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai langkah pemerintah dengan mendorong program langit biru, yakni mendorong BBM ramah lingkungan, harus didukung. Caranya dengan mengurangi distribusi dan penjualan jenis BBM yang tidak ramah lingkungan, terutama BBM premium.
Baca Juga: BBM Jenis Premium Lebih Boros, Ini Penjelasan Ahli
Bahkan program Langit Biru akan semakin baik jika bisa diseleraskan dengan Program Bali Era Baru - Work From Bali; bekerja sambil liburan di wilayah yang ramah lingkungan tanpa kantong plastik dan udara bersih rendah emisi.
Karena itu, sudah mendesak, untuk meniadakan penjualan jenis BBM premium di Jabodetabek dan membatasi dengan ketat untuk daerah lainnya di Jawa dan luar Pulau Jawa. Peniadaan BBM premium atau jenis BBM lain yang tidak ramah lingkungan, bukan saja urgen untuk mengurangi tingginya polusi di Jakarta, tetapi juga menjaga kesehatan masyarakat.
Meski demikian, Mamit berpendapat bahwa posisi Pertamina tetap pada penugasan yang diberikan oleh pemerintah. Mereka sebagai BUMN akan mendukung apa pun kebijakan pemerintah terkait hal ini.
"Selain kebijakan pemerintah pusat, saya kira pemerintah daerah pun bisa meminta kepada Pertamina untuk tidak menyalurkan Premium ke wilayak mereka, jika memang masyarakatnya siap untuk tidak menggunakan premium," kata Mamit, Rabu (1/7/2020).
Namun, pada sisi ini Mamit tetap mengingatkan bahwa ada beban yang harus ditanggung pemerintah terkait dengan dana kompensasi tersebut untuk premium. Menurutnya, edukasi sangat penting dan masyarakat juga sudah cukup paham terkait penggunaan BBM dengan oktan yang tinggi.
"Proses edukasi ini sangat baik, saya kira yang dilakukan oleh Pertamina dan pemerintah untuk beralih ke BBM ron tinggi," imbuh Mamit.
Di sisi lain, Mamit menyambut baik Langit Biru. Program ini menjadi keharusan sesuai dengan peraturan KLHK. Menurutnya, program ini harus dilakukan secara bertahap sehingga bisa dilakukan di semua daerah.
Terpisah, Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI, menyampaikan, bensin premium berkontribusi signifikan terhadap polusi di Jakarta karena lebih dari 30 persen bensin premium digunakan oleh kendaraan bermotor. Jika premium tak dihapus, Jakarta akan makin tenggelam dan kelam oleh polusi.
"Polusi udara masih tinggi, sebab banyak kendaraan masih mengonsumsi BBM yang memiliki oktan rendah," katanya.
Karena itu, semua pihak, baik pemerintah pusat dan daerah, perlu satu suara dalam kebijakan menghilangkan premium. Penghapusan BBM yang tidak ramah lingkungan, seperti premium, juga sejalan dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi karbon sebagaimana Perjanjian Paris (Paris Protokol), yang telah diratifikasi. Pengurangan emisi karbon antara 29-40 persen akan sulit tercapai jika masyarakat masih dominan menggunakan BBM yang tidak ramah lingkungan.
Tulus mengatakan, dalam kehidupan pasca-wabah Covid-19, sektor energi pun harus berbasis new normal, yakni konsisten menggunakan BBM ramah lingkungan yang juga sejalan dengan filosofi konsumsi berkelanjutan.Terlebih lagi, sejumlah negara maju telah melarang pemakaian premium karena dianggap tidak ramah lingkungan.
Sejatinya, pemerintah pusat sudah menetapkan premium hanya berlaku di luar Pulau Jawa. Seyogyanya, BBM jenis ini harus dihapus peredarannya dari wilayah Jakarta jika Pemprov berkomitmen menciptakan kualitas udara yang baik bagi warganya.
"Harusnya makhluk premium yang nilai ron-nya sangat rendah tidak dipakai lagi di Jakarta," ujar Tulus.
Baca Juga: Tak Terima Harga BBM Belum Turun, Pengamat: Masyarakat Berhak Nikmati Harga Murah Minyak Dunia!
Sementara Direktur Eksekutif Komite Pengurangan Bensin Bertimbal (KPBB) atau sebelumnya bernama Komite Penghapusan Bensin Bertimbal, Ahmad Safrudin menganggap BBM jenis pertalite dan dexlite sebagai dua bahan bakar yang tidak lagi layak berdasarkan standar emisi kendaraan yang berlaku di Indonesia. Terlebih, sejak 2005, Indonesia mewajibkan standar kendaraan bermotor mengacu pada standar Euro2/II.
Penerapan standar ini, lanjut dia, mengharuskan prasyarat tersedianya BBM yang antara lain bensin dengan ron 92 (min), sulfur 500 ppm (max), dan lead 0,013 gr/L (max), dan solar dengan cetane number/CN 51 (min), sulfur 500 ppm (max). Kemudian, lanjutnya, pada Oktober 2018, pemerintah memperketat standar emisi kendaraan dengan mewajibkan standar Euro 4/IV yang mengharuskan ketersediaan bensin dengan ron 92 (min), sulfur 50 ppm (max), dan lead 0,005 gr/L (max), dan solar dengan CN 51 (min), sulfur 50 ppm (max).
"BBM yang memenuhi syarat adalah bensin yang setara dengan pertamax dan pertamax turbo. Sementara untuk solar adalah solar perta-dex dan perta-dex HQ (high quality)," jelas Ahmad.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Rosmayanti